This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Minggu, 26 Mei 2013

makalah agama hukum islam dan kontribusi umat islam di indonesia


HUKUM ISLAM DAN KONTRIBUSI UMAT ISLAM
DI INDONESIA


1.1.        Latar Belakang.
Islam sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk Indonesia, tentu sangat berpengaruh terhadap pola hidup bangsa Indonesia. Perilaku pemeluknya tidak lepas dari syari'at yang dikandung agamanya. Melaksanakan syari'at agama yang berupa hukum-hukum menjadi salah satu parameter ketaatan seseorang dalam menjalankan agamanya. Ada beberapa kata yang harus diberikan penjelasan dari judul di atas, yaitu: kontribusi, hukum Islam, perkembangan, hukum, dan nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa kata "kontribusi" berarti sumbangan. Kamus bahasa Inggeris (Oxford) menyebutnya dengan contribution, yang berarti act of contributing, perbuatan memberikan sumbangan[1]. Menurut penulis, sumbangan yang dimaksud dengan kata tersebut pada umumnya bersifat immaterial[2]. Kata hukum yang dikenal dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab hukum yang berarti putusan (judgement) atau ketetapan (Provision). Dalam buku Ensiklopedi Hukum Islam, hukum berarti menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakannya. Sementara dalam A Dictionary of Law dijelaskan tentang pengertian hukum sebagai berikut "Law is "the enforceable body of rules that govern any society or one of the rules making up the body of law, such as Act of Parliament." "Hukum adalah suatu kumpulan aturan yang dapat dilaksanakan untuk mengatur/memerintah masyarakat atau aturan apa pun yang dibuat sebagai suatu aturan hukum seperti tindakan dari Parlemen."
Bagi kalangan muslim, jelas yang dimaksudkan sebagai hukum adalah Islam, yaitu keseluruhan aturan hukum yang bersumber pada AIquran, dan untuk kurun zaman tertentu lebih dikonkretkan oleh Nabi Muhammad dalam tingkah laku Beliau, yang lazim disebut Sunnah Rasul. Sementara itu Rifyal Ka'bah[3] mengemukakan bahwa hukum Islam adalah terjemahan dari istilah Syari'at Islam (asy-syari'ah al-lslamiyyah) atau fiqh Islam (alfiqh al- Islami). Syariat Islam dan fiqh Islam adalah dua buah istilah otentik Islam yang berasal dari perbendaharaan kajian Islam sejak lama. Kedua istilah ini dipakai secara bersama-sama atau silih berganti di Indonesia dari dahulu sampai sekarang dengan pengertian yang kadangkadang berbeda, tetapi juga sering mirip. Hal ini sering menimbulkan kerancuan-kerancuan di kalangan masyarakat bahkan di antara para ahli. Kaidah-kaidah yang bersumber dari Allah SWT kemudian lebih dikonkretkan diselaraskan dengan kebutuhan zamannya rnelalui ijtihad atau penemuan hukum oleh para mujtahid dan pakar di bidangnya masing-masing, baik secara perorangan maupoun kolektif.
1.2.       Rumusan Masalah.
Berdasarkan latar  belakang permasalahan yang ada maka dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut ini :
1.        Apa pengertian Hukum Islam ?
2.        Apa saja Sumber – Sumber Hukum Islam ?
3.        Apakah Fungsi Hukum Islam dalam Kehidupan Masyarakat ?
4.        Apa Kontribusi Umat Islam dalam Perumusan Sistem Hukum Nasional ?

1.3.       Tujuan Penulisan.
Adapun tujuan yang ingin dicapai, adalah :
1.        Untuk mengetahui pengertian hukum islam
2.        Untuk mengetahui sumber – sumber Hukum Islam
3.        Untuk mengetahui fungsi hukum islam dalam kehidupan masyarakat
4.        Untuk menambah wawasan tentang kontribusi umat islam dalam perumusan sistem hukum nasional



BAB II
PEMBAHASAN
2.1.       Pengertian Hukum Islam

Hukum adalah seperangkat norma atau peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku manusia, baik norma atau peraturan itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarkat maupun peraturana atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa. Bentuknya bisa berupa hukum yang tidak tertulis, seperti hukum adat, bisa juga berupa hukum tertulis dalam peraturan perundangan-undangan. Hukum sengaja dibuat oleh manusia untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan harta benda. Sedangkan hukum Islam[4] adalah hokum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama Islam. Konsepsi hukum islam, dasar, dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah. Hukum tersebut tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia dan benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dalam masyarakat, dan hubungan manusia dengan benda alam sekitarnya.
Sebagai sistem hukum, hukum Islam berbeda dengan sistem hukum lain, yang pada umumnya terbentuk dan berasal dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat dan hasil pemikiran manusia serta budaya manusia pada suatu tempat dan masa. Hokum Islam tidak hanya merupakan hasil pemikiran yang dipengaruhi kebudayan manusia di suatu tempat dan masa, tapi pada dasarnya ditetapkan Allah melalui wahyu-wahyuNya, yang terdapat dalam Al-Quran dan dijelaskan oleh nabi Muhammad sawsebagai rasulNya melalui sunah-sunah beliau yang kini pun tehimpun dalam kitab-kitab hadits. Dasar inilah yang membedakan hokum Islam secara fundamental dengan hukum-hukum lain yang semata-mata lahir dari kebiasaan dan hasil pemikiran atau buatan manusia. Hokum islam diperkenalkandengan berbagai istilah yang saat ini telah popular di lingkungan umat Islam. Ada istilah syariat, hokum syara, maupun fiqih. Bagi setiap umat Islam selayaknya memahami ketiga istilah tersebut, agar memiliki wawasan yang cukup mengenai wilayah dan cukupan-cakupan ilmu agama islam.
Syariat adalah segala sesuatu yang ditetapkan oleh Allah swt. Bagi hamba-hambaNya yang dibawa oleh para Nabi Allah termasukNabi Muhammad saw. Baik yang berkaitan dengan teknik suatu aml perbuatan (yang kemudian tersusun dalam ilmu fiqih), maupun persoalan-persoalan kepercayaan dan keimanan (yang kemudian tersusun dalam ilmu kalam). Istilah syariat ini sering pula disebut dengan istilah ad-diin dan al-millah (agama). Adapula yang mendefinisikan syariat dengan pengertian segala sesuatu yang Allah SWT bagi hambaNya yaitu agama, atau segala sesuatu yang telah ditunjukkan jalanNYa oleh Allah, berupa agama dan segala perintah-perintahNya seperti puasa, shalat, haji, zakat, dan segenap amal kebaikan. Dari uraian di atas tampak bahwa istilah syariah mencakupi yang di ajarkan dan ditetapkan oleh Allah melalui nabiNya, baik yang berkaitan dengan masalah teologi (keyakinan), masalah ritual (peribadatan), masalah social (kemasyarakatan), maupun moral (etika).
Hukum syara’ adalah firman Allah yang mengikat (mengatur) tindakan-tindakan orang mukallaf (orang Islam yang telah layak menerima hak dan kewajiban hukum) baik yang berupa tuntutan, pilihan, maupun penetapan.
Hokum syara dibagi menjadi 2 bagian:
1.      Al-hukmu at-taklifiy (hokum yang bersifat pembebanan ),menurut mayoritas ulama ada 5 tingkatan:
Ø  Ijab/ wajib (kewajiban), yaiti suatu perbuatan jika dilakukan mendapat imbalan phala dan kalau ditinggalkan akan mendapat siksa dan dosa.
Ø  Sunnah/ mandub (anjuran), yaitu suatu perbuatan jika dilakukan mendapat imbalan tetapi jika ditinggalkan tidak memiliki resiko berdosa.
Ø  Ibahah/ mubah (kebolehan), yaitu suatu pernuatan jika dikerjakan mauoun ditinggalkan tidak mengandung konsekuensi pahala ataupun dosa.
Ø  Karahah/ makruh (kebencian/ keterpaksaan), yaitu perbuatan jika ditinggalkan akan mendapatkan imbalan pahala dan jika dikerjakan tidak beresiko siksa dan dosa.
Ø  Tahrim/ haram (larangan) yaitu suatu perbuatan jika dikerjakan akan mendapat siksa dan dosa, dan jika ditinggalkan akan dapat imbalan paahala.
2.      Al-hukmu al-wadl’iy (hukum yang bersifat penetapan-penetapan khusus), terdiri dari ketetapan-ketetapan yang menentukan kberlakuan hokum taklifiy, yaitu:
Ø  As-sabab (sebab), yaitu sesuatu yang ditetapkan oleh Allah sebagai factor datangnya ketentuan hokum taklifiy, seprti condongnya matahari ke arah barat menjadi factor datangnya sholat dhuhur; seperti hadinya suatu penyakit atau kegiaatan bepergian (musafir) menjadi dihapuskannya skewajiban puasa ramadhan pada hari itu. Jadi, ada hubungan sebab akibat antara datangnya suatu factor dengan datangnya hokum.
Ø  As-syarath (syarat) yaitu sesuatu yang ditetapkan oleh Allah untuk menjadi factor bagi keabsahan suatu hokum walaupun tidak memiliki hubungan mutlak sebaab akibat, seperti akaad nikah yang sah merupakan syarat ditetaapkannya talak/ perceraian karena tidak ada perceraian jika sepasang manusia tidak pernah maenikah secara sah, dan seoarang yang menikah secara sah, dan seorang yang menikah secara sah dan tidak selalu berakhir dengan perceraian.
Ø  Al- mani’ (penghalang), ayitu segala seduatu yangt ditetapkan oleh Allah menjadi penghalang pelaksanaan suatu hukum. Maka jika sesuatu itu ada, secara otomatis hukum itu tidak berlaku, seperti batalnya hak mewarisi bagi seorang pembunuh bagi yang dibunuhnya. Dalam hukum waris, seorang anak memperoleh bagian harta waris dari orang tuanya dalam keadaan apapun juga. Namun hal ini bisa di anulir jika terbukti ternyata anak tersebut ternyata menjadi pembunuh bagi orang tuanya. Maka dalam hal ini “membunuh”adalah mani’/ penghalanh untuk menerima waris.
Ø  Azimah (ketetapan reguler), yaitu ketetapan Allah yang disampaikan kepada umatnya secara umum dengan tidaka disertai dengan relevansi-relevansi khusus baiak dalam keadaan tertentu maupun terhadap kelompok tertentu. Seperti shalat 5 waktu dilaksanakan sesuai dengan ketentuan waktu dan jumlah rekaatnya.
Ø  Rukhshah (dipensasi), yaitu ketetapan Allah untuk memberikan dipensasi bagi umatnya dalam keadaan khusus yang menghajatkan seperti itu. Seperti shalat dhuhur yang dapat digabung dengan shalat ashar dengan masing- masing dua rekaat saja (disebut dengan jama’ dan qashar); orang yang sakit memperoleh dispensasi puasa ramadhan untuk dikerjakan di bulan lainnya saja.
Ø  As-Shihhah (valid/ absah) yaitu ketetapan Allah bagi amalan-amalan yang telah memenuhi standar kriteria syarat dan rukunnya. Seperti shalat yang dilakukan sebagaimana syarat dan ketentuan secara lengkap maka shalat itu ditetapkan sabagai shalat yang sah.
Ø  Al- buthlan (batal) yaitu ketetapan Allah bagi amalan-amalan yang telah memenuhi ketetentuan syarat dan rukun padahal tidak memiliki dispensasi apapun.
Istilah fiqh didefinisikan denngan pengetahuan tentang hukum-hukum syara yang bersifat praktis dari dalil-dalil yang terperinci, yang dihasilakan dari rasio dan ijtihad melalui proses pemikiran dan perenungan. Banyak definisi tentang fiqh, ada yang menyebutkan bahwa fiqh dengan ilmu pengetahuan tentang hukum syara’ yang praktis digali dari sumber-sumbernya yang terperinci. Oleh karena itu, fikih bersifat instrumental, dari ruang lingkupnya terbatas pada hukum yang mengatur perbuatan manusia, yang disebut dengan perbuatan hukum. Karena fikih adalah hasil karya manusia, maka ia tidak berlaku abadi dan dapat berubah dari masa ke masa, dan dapat berbeda dari satu tempat ke tempat yang lain. Hal ini terlihat dari aliran- aliran hukum yang disebut dengan istilah mazahib atau mahzab-mahzab. Oleh karena itu, dalam fikih menunjukan keragamandalam hukum islam. Fikih dalam bahasa indonesia berisi perincian-perincian sdari syariah karena itu ia dapat dikatakan sebagai elaborasi terhadap syariah. Elaboarsiyang dimaksud adalah suatu kegiatan ijtihad dengan menggunakan akal pikiran atau ar-ra’yu.
Yang dimaksud ijtihad[5] adalah usaha atau ikhtiar yang sungguh-sungguh dengan memprgunakan segenapa kemampuan yang ada, dilakukan oleh orang (ahli hukum) yang memenuhi syarat untuk mendapat garis hukum yang belum jelas atau tidak ada ketentuannya dalam al-quran dan sunah Rasulullah. Jika mempelajari kitab-kitab fikih, mak seseorang akan menemukan pemiikiran para fukaha antara lain pendiri empat mazhab yang dikenal sampai sekarang masih berpengaruh dikalanngan umat islam sedunia, yaitu: Abu Hanifah (pendiri mazhab hanafi), Malik bin Annas (pendiri mazhab Maliki), Muhammad bin Idris asy Syafi’I (pendiri mazhab Syafi’i), dzan Ahmad bin Hambal (pendiri mazhab Hambali). Para yuris islam tersebut sangat berjasa bagi perkembangan hokum islam melalui pemikiran-pe ikiran mereka yang mengagumnkan.
Menurut Tahir Azhary, ada tiga sifat hukum Islam, Dengan sifat ini, hukum islam mempunyai validitas baik bagi perorangan maupun masyarakat. Sifat-sifat itu adalah:
Ø  Bidimensional yang artinya menhgandung sehi kemanusiaan dan segi ketuhanan (illahi) sehingga luas atau komprehensif. Hukum Islam tidak hanya mengatur satu aspek kehidupan tetapi juga mengatur berbagai aspek kehidupan manusia. Sifat inilah yang merupakan sifat dasar hukum islam dan merupakan fitrah (sifat asli) hukum islam.
Ø  Adil, sifat ini merupakan tujuan penetapan hukum islam, dan telah melekat sejak kaidah-kaidah dalam syariah ditetapkan. Keadilan merupakan sesuatu yang di dambakan oleh setiapm manusia baik sebagai individu, maupun masyarakat.
Ø  Individualistik, dan kemasyarakatan yang diikat oleh nilai-nilai transdental yaituwahyu Allah yang di sampaikan kepada nabi Muhammad saw.
2.2.       Sumber Hukum Islam
Di dalam hukum islam rujukan-rujukan dan dalil telah ditentukan sedemikian rupaoleh syariat, mulai dari sumber yang pokok maupun yang bersifaat alternatif. Sumber tertib hukum Islaam ini secara umumnya dapat dipahami dalam firaaman Allah dalam QS. An-nisa: 59, “wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilalh RasulNyadaan ulil amri di antara kamu. Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia pada Allah (al quran) dan Rasul (sunnahnya) jika kamu benar-benar bberiman kapada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik (akibatnya).
Dari ayat tersebut, dap[at diperoleh pemahaman bahwa umat islam dalam menjalankan hokum agamanya harus didasarkan urutan:
v  Selalu menataati Allah dan mengindahkan seluruh ketentuan yang berlaku dalam alquran.
v  Menaati Rasulullah dengan memahami seluruh sunnah-sunnahnya.
v  Menaati ulil amri (lembaga yang menguasai urusan umat islam.
v  Mengenbalikan kepada alquran dan sunah jika terjadi perbedaan dalam menetapkan hukum,
Secara lebih teknis umat islam dalam berhukum harus memperhatikan sumber tertib hukum:
1.      Al Quran
2.      Sunah atau hadits Rasul
3.      Ijtihad
  1. Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Utama
Al-Quran juga di definisikan  ialah 'Kalam Allah Swt yang diwahyukan kepada nabi yang terakhir Muhammad Saw, yang merupakan mukjizat yang terbesar diberikan Allah Swt terhadap Rasul Saw dan membacanya merupakan ibadah (pahala).
Dalam al-quran juga disebutkan ada beberapa nama lain Al-quran seperti :
·         Al-kitab
·         Al-Syifa (obat)
·         Al-Huda’ (petunjuk)
·         Al-Furqan (pembeda), dan
·         Al-Mau’izhah (nasihat).   

Artinya, Al-Qur’an adalah kitab yang berisikan petunjuk allah Swt untuk menjelaskan berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan hambanya, membedakan antara yang haq dan yang bathil, serta menjadi peringatan, obat dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Sebagaimana yang telah diwahyukan oleh Allah Swt dalam QS.Al-Isra’ 82:
“ Dan kamiturunkan dari Al-quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian”.

Al-Qur’an adalah sumber hukum utama dan pertama dalam islam. Karena setiap muslim wajib berpegang teguh kepada isi kandungan Al-Qur’an  dan menempatka Al-Qur’an sebagai rujukan utama dan pertama dalam menetapkan suatu hukum Allah SWT berfirman  :
Artinya: Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. al-Maidah: 44).
Dalam ayat lain Allah berfirman:
Artinya: Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, Akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (al- Ahjab: 36).
Kedua ayat ini menegaskan kepada kita untuk selalu berpegang teguh pada al-qur’an dan hadis sebagai dasar dan sumber hukum-hukum islam dan melarang kita untuk menetapkan suatu perkara yang tidak sesuai dengan al-qur’an dan hadis serta dilarang untuk mendurhakai allah dan rasul-Nya.

2.      Al-Hadits[6] Sebagai Sumber Hukum Kedua

As-sunnah menurut istilah yang dirumuskan oleh ‘Ulama Hadis adalah “Segala sesuatu yang diambil dari Nabi Muhammad Saw baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir (ketentuan), pengajaran, sifat, kelakuan dan perjalanan hidup baik yang terjadi sebelum masa kenabian ayau sesudahnya”
 Sedangkan menurut ‘ulama Fiqh : “ Segala sesuatu yang diambil dari Nabi Muhammad Saw baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan(taqrir) yang mempunyai kaitan dengan hukum “
Berdasarkan pengertian di atas , dapat diklasifikasikan  kepada 4 macam yaitu;
a.    Hadis Qauliyah

Seluruh hadis yang bersumber dari perkataan Nabi Muhammad saw, baik dalam bentuk perintah, larangan, anjuran atau nasehat , dan lain-lain. Yang dapat dijadikan dalil untuk menetapkan hokum syara’
b.    Hadis Fi’liyah

Seluruh hadis yang bersumber dari perilaku atau perbuatan yang ditampilkan oleh Nabi Muhammad Saw agar diconthkan atau diteladani oleh umatnya.Contohnya: tata cara wudu’ , shalat, haji, dan lain-lain yang diperbua dan dicontohkan oleh Nabi.
c.    Hadis Taqririyah
Seluruh hadis yang berbentuk ketetapan atau persetujuan Nabi Muhammad Saw terhadap suatu perkara yang dilakuakn sahabat atau umatnya. Dalam hal ini, Nabi Muhammad Saw memberikan persetujuan atau ketetapan terhadap hal-hal positif yang dilakukan sahabatnya. Sebagai contoh, nabi Muhammad saw menyetujui kalimat-kalimat azan yang dikumandangkan oleh sahabat yang bernama Bilal Nin rabbah.
  •   Hadis Hamiyah
Hadis nabi Muhammad Saw yang masih berbentuk harapan. Menurut ahli hadis, bentuk hadis seperti ini sangat sedikit, bahkan ada yang mengatakan tidak ada,. Hal ini dikarenakan Nabi Muhammad Saw adalah sosok teladan yang tidak pernah meminta umatnya melakukan sesuatu sebelum ia sendiri melakukannya. Begitupun, ada yang berpendapat bahwa Nabi Muhammad saw pernah berniat untuk berpuasa pada Muharram, tetapi sebelum ia menunaikannya, beliau telah dipanggil Allah Swt inilah salah satunya sumber informasi tentang hadis hammiyah.
Hadis merupakan salah satu sumber hokum islam yang wajib kita taati. Allah Swt telah mewajibkan agar kita mentaati hukum-hukum dan perbuatan-perbuatan yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw tersebut.
Hadits terdiri dari :
Ø  Matan, yaitu isi atau kandungan dari suatu hadis yang memuat berbagai pengertian.
Ø  Sanad, yaitu jalan yang menyampaikan kepada matan hadis,yaitu nama-nama para perawinya yang berurutan menjadi sandaran dalam periwayatan hadis menjadi perantara Nabi Muhammad Saw sampai kepada perawi atau orang yang meriwayatkan suatu hadis
Ø  Rawi yaitu orang-orang yang meriwayatkan hadist

Klasifikasi Hadits
a.       Hadis Shahih
Yaitu hadits yang dapat dipakai sebagai landasan hukum. Hadits yang sahih para perawinya bersambung sampai kepada Nabi saw, perawinya orang yang taat beragama, kuat hafalannya dan isinya tidak bertentangan dengan Al-Quran.
b.      Hadits Hasan (baik)
Yaitu hadits yang memenuhi  persyaratan  seperti perawinya semuanya bersambungan, perawinya taat beragama, agak kuat hafalannya, tidak bertentangan dengan Al-Quran dan tidak cacat di dalamnya.

c.       Hadits Daif (lemah)
Yaitu hadits yang tidak memenuhi  criteria  persyaratan hadits hasan apalagi shahih. Hadits daif tidak boleh dijadikan sebagai landasan hukum.

3.      Al-Ijtihad Sebagai Sumber Hukum Pelengkap
Menurut bahasa Ijtihad[7] artinya bersungguh-sungguh. Menurut istilah Ijtihad ialah bersungguh-sungguh menggunakan akal pikiran untuk merumuskan dan menetapkan hukum atau suatu perkara yang tidak ditemukan kepastian hukumnya dalam Al-Qur’an maupun Hadits.
Hasil ijtihad dapat dijadikan sumber hukum yang ketiga atau pelengkap. Hal itu di dasarkan kepada hadis yang diriwiyatkan oleh Imam Tirmizi dan Abu Daud  yang berisikan dialoq antara Nabi Muhammad Saw dengan Mua’az bin Jabal, ketika diutus ke negeri Yaman waktu itu Nabi bertanya kepada Mu’az “ Bagaimana kamua akan menetapkan hukum kalau dihadapkan kepadamu sutu persoalan yang memerlukan ketetapan hukum?” Mu’az menjawab,” saya akan menetapkan hukum dengan Al-Qur’an ,” Rasul bertanya lagi “ kalau seandainya tidak ditemukan ketetapannya dengan Al-quran?” Mu’az menjawab,” saya akan berijtihad denan pendapat saya sendiri.” Kemudian rasulullah menepuk-nepuk bahu mu’az bin jabal tanda setuju. Dan ini merupakan dasar hukum perlunya ijtihad. Al-quran menjelaskan ada “ULIL  AMRI”yang berarti mereka yang berwenang menetapkan suatu maslahat bagi umat. Q.S An-Nisa ayat 59.

Persoalan apa sajakah yang boleh di ijtihadkan?
Para ulama sepakat bahwa semua masalah boleh diijtihadkan apabila kita tidak menentukan penjelasan yang rinci tentang masalah tersebut, baik dalam al-quran maupun hadist. Karenanya kita tidak diperkenankan lagi beijtihad dalam masalah-masalah yang sudah jelas aturan dan dasar hukumnya, seperti shalat, puasa, zakat dan haji.
Ijtihad semakin dirasakan penting ditengah-tengah kehidupan yang semakin maju, maka semakin banyak pula permasalahan-permasalahan baru yang belum pernah terjadi, baik pada masa rasul,sahabat maupun pada masa-masa sebelunya.kini semakin, banyak masalah yang memerlukan ijtihad para ulama menentukan status atau ketentuan hukumnya.
Diantara msalah-masalah tersebut misalnya:
Ø  Bayi tabung
Ø  Ber-KB secara vasektomi dan tebektomi
Ø  Transpalantasi organ tubuh seperti jantung buatan, pemotongan hewan dengan mesin,transfusi darah, dan sih banyak masalah lainnya.

Bentuk-bentuk Ijtihad[8]
a.        Ijma’
Menggunakan bahasa Ijma’ berarti menghimpun, mengumpulkan dan menyatukan pendapat. Menurut istilah ijma’ adalah kesepakatan para ulama tentang hukum suatu masalah yang tidak tercantum di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.
b.      Qiyas
Menurut bahasa Qiyas berarti mengukur sesuatu dengan contoh yang lain, kemudian menyamakannya. Menurut istilah, Qiyas adalah menentukan hukum suatu maslaah yang tidak ditentukan hukumnya dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits dengan cara menganalogikan suatu masalah dengan masalah yang lain karena terdapat kesamaan ‘illat (alasan).

c.       Istihsan
Menurut bahasa, Istihsan berarti menganggap/mengambil yang terbaik dari suatu hal. Menurut istilah, Istihsan adalah meninggalkan qiyas yang jelas (jali) untuk menjalankan qiyas yang tidak jelas (khafi), atau meninggalkan hukum umum (universal/kulli) untuk menjalankan hukum khusus (pengecualian/istitsna’), karena adanya alasan yang menurut pertimbangan logika menguatkannya. Contoh: menurut istihsan sisa minuman dari burung-burung yang buas seperti elang, gagak, rajawali dan lain-lain itu tetap suci berbeda dengan sisa minuman dari binatang-binatang buas seperti harimau, singa, serigala dan lain-lain yang haram dagingnya karena sisa makanan binatang-binatnag buas ini  mengikuti hukum dagingnya, maka sisa minumannya juga haram (najis). Alasan kesucian dari sisa minuman burung-burung buas tadi : meskipun haram dagingnya, karena burung-burung itu mengambil air minumnya dengan paruh yang berupa tulang (dimanan hukum tulang itu sendiri suci) dan tidak dimungkinkan air liur / ludah yang keluar dari perutnya (dagingnya) itu bercampur dengan sisa minuman tadi. Sedangkan binatang-binatang buas mengambil air minum dengan mulutnya yang sejenis daging sehingga dimungkinkan sekali sisa minumannya bercampur dengan ludahnya.
d.      Masalihul Mursalah
Menurut bahasa, Masalihul Mursalah berarti pertimbangan untuk mengambil kebaikan. Menurut istilah, Masalihul Mursalah yaitu penetapan hukum yang didasarkan atas kemaslahatan umum atau kepentingan bersama dimana hokum pasti dari maslah tersebut tidak ditetapkan oleh oleh syar’I (al Qur’an dan Hadits) dan tidak ada perintah memperhatikan atau mengabaikannya. Contoh penggunaan masalihul mursalah kebijaksanaan yang diambil sahabat Abu Bakar shiddiq mengenai pengumpulan al Qur’an dalam suatu mush-haf, penggunaan ‘ijazah, surat-surat berharga dsb.
Dengan perkembangan zaman yang terus semakin maju, muncul berbagai masalah baru yang belum dijumpai ketetapan hukumnya di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Masalah-masalah baru tersebut membutuhkan ijtihad, sehingga menjadi hukum bagi kaum muslimin. Hal ini menuntut kita semua untuk selalu memperdalam ilmu pengetahuan dan wawasan keagamaan kita, sehingga kita mampu menjadi para mujtahid yang memiliki syarat-syarat ijtihad dengan benar. Pintu ijtihad masih terbuka lebar bagi setiap umat muslim yang memiliki syarat-syarat ijtihad. Islam sangat mendorong kaum muslimin untuk melakukan ijtihad. Hal ini ditegaskan Rasulullah saw. dalam haditsnya yag diriwayatkan Mu’az bin Jabal :
Artinya : "Apabila seorang hakim memutuskan masalah dengan jalan ijtihad kemudian benar, maka ia mendapat dua pahala, dan apabila dia memutuskan dengan jalan ijtihad kemudian keliru, maka dia memperoleh satu pahala. (HR. Bukhari Muslim).”

e.       Istish-hab
Melanjutkan berlakunya hokum yang telah ada dan telah diterapkan karena adanya suatu dalil sampai datangnya dalil lain yang mengubah kedudukan hokum tersebut. Misalnya apa yang diyakini ada, tidak akan hilang oleh adanya keragu-raguan, contoh : orang yang telah berwudlu, lalu dia ragu-ragu apakah sudah batal atau belum, maka yang dipakai adalah dia tetap dalam keadaan wudlu dalam pengertian wudlunya tetap sah. Seperti itu juga dalam hal menentukan suatu masalah yang hukum pokoknya mubah (boleh), maka hukumnya tetap mubah sampai dating dalil yang mnegharuskan meninggalkan hokum tersebut.

Syarat umum yang harus dimiliki setiap mujtahid:
·        Menguasai atau memahami secara mendalam tentang al-quran dan ilmu-ilmu al-quran, terutama ayat-ayat hukum, asbabun nuzul dan nasakh mansukhnya
·        Menguasai hadis dan ilmu-ilmu hadis.
·        Menguasai bahasa arab dan ilmu-ilmu yang berkenaan dengan bahasa arab.
·        Menguasai ilmu ushul fiqh.
·        Memahami tujuan pokok syari’at islam
·        Memahami Qawaid kulliyah atau Qawaid Fiqhiyah.

2.3.       Fungsi Hukum Islam Dalam Kehidupan Bermasyarakat
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri manusia membutuhkan pertolongan satu sama lain dan memerlukan organisasi dalam memperoleh kemajuan dan dinamika kehidupannya. Setiapa individu dan kelompok sosial memiliki kjepentingan. Namun demikan kepentingan itu tidak selalu sama satu saama lain, bahkan mungkin bertentangan. Hal itu mengandung poteensi terjanya benturaan daan konflik. Maka hal itu membutuhkan aturan main. Agar kepentingan individu dapaat dicapai secara adil, maka dibutuhjkan penegakkan aturan main tersebut. Aturan main itulah yang kemudian disebutdenngan hukum islam yang dan menjadi  pedomaan setiap pemeeluknya. Dalam hal ini hukum islam memiliki tiga orientasi, yaitu:
a.    Mendidik indiividu (tahdzib al-fardi) untuk selalu menjadi sumber kebaikan,
b.    Menegakkan keadilan (iqamat al-‘adl),
c.    Merealisasikan kemashlahatan (al-mashlahah).
Oreintasi tersebut tidak hanya bermanfaat bagi manusia dalam jangka pendek dalam kehidupan duniawi tetapi juga harus menjamin kebahagiaan kehidupan di akherat yang kekal abadi, baik yang berupa hukum- hukum untuk menggapai kebaikan dan kesempurnaan hidup (jalbu al manafi’), maupun pencegahan kejahatan dan kerusakan dalam kehidupan (dar’u al-mafasid). Bbegitu juga yang berkaitan dengan kepentingan hubungan antara Allah dengan makhluknya. Maupun kepentingan orientasi hukum itu sendiri.[9]
Sedangkan fungsi hukum islam dirumuskan dalam empat fungsi, yaitu:
1.    Fungsi ibadah. Dalam adz-Dzariyat: 56, Allah berfirman: “Dan tidak aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepadaKu’. Maka dengan daalil ini fungsi ibadah tampak palilng menonjol dibandingkan dengan fungsi lainnya.
2.    Fungsi amar makruf nahi munkar (perintah kebaikan dan peencegahan kemungkaran). Maka setiap hukum islam bahkan ritual dan spiritual pun berorientasi membentuk mannusia yang yang dapat menjadi teladan kebaikan dan pencegah kemungkaran.
3.    Fungsi zawajir (penjeraan). Aadanya sanksi dalam hukum islam yang bukan hanya sanksi hukuman dunia, tetapi juga dengan aancaman siksa akhirat dimaksudkaan agar manusia dapat jera dan takut melakukan kejahatan.
4.    Fungsi tandzim wa ishlah al-ummah (organisasi dan rehabilitasi masyarakat). Ketentuan hukum sanksi tersebut bukan sekedar sebagai batas ancaman dan untuk menakut-nakuti masyarakat saja, akan tetapi juga untuk rehaabilitasi dan pengorganisasian umat mrnjadi leboh baik. Dalam literatur ilmu hukum hal ini dikenal dengan istilah fungsi enginering social.
Keempat fungsi hukum tersebut tidak dapat dipilah-pilah begitu saja untuk bidang hukum tertentu tetapi saatu deengan yang lain juga saling terkait.

2.4.       Kontribusi Umat Islam Dalam Perumusan dan Penegakan Sistem Hukum Indonesia
Hukum islam ada dua sifat, yaitu:
a.       Al- tsabat (stabil), hukum islam sebagai wahyu akan tetap dan tidak berubah sepanjang masa
b.      At-tathawwur (berkembang),hukum islam tidak kaku dalam berbagai kondisi dan situasi sosial.

Hukum Islam memiliki prospek dan potensi yang sangat besar dalam pembangunan hukum nasional. Ada beberapa pertimbangan yang menjadikan hukum Islam layak menjadi rujukan dalam pembentukan hukum nasional yaitu[10]:
1.        Undang-undang yang sudah ada dan berlaku saat ini seperti, UU Perkawinan,
UU Peradilan Agama, UU Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU Pengelolaan Zakat,
dan UU Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam serta beberapa undangundang
lainnya yang langsung maupun tidak langsung memuat hukum Islam
seperti UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan yang mengakui keberadaan
Bank Syari'ah dengan prinsip syari'ahnya., atau UU NO. 3 Tahun 2006 tentang
Peradilan Agama yang semakin memperluas kewenangannya, dan UU Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
2.        Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih kurang 90 persen beragama Islam akan memberikan pertimbangan yang signifikan dalam mengakomodasi kepentingannya.
3.        Kesadaran umat Islam dalam praktek kehidupan sehari-hari. Banyak aktifitas keagamaan masyarakat yang terjadi selama ini merupakan cerminan kesadaran mereka menjalankan Syari'at atau hukum Islam, seperti pembagian zakat dan waris.
4.        Politik pemerintah atau political will dari pemerintah dalam hal ini sangat menentukan. Tanpa adanya kemauan politik dari pemerintah maka cukup berat bagi Hukum Islam untuk menjadi bagian dari tata hukum di Indonesia.

Untuk lebih mempertegas keberadaan hukum Islam dalam konstalasi hukum nasional dapat dilihat dari Teori eksistensi tentang adanya hukum Islam di dalam hukum nasional Indonesia. Teori ini mengungkapkan bahwa bentuk eksistensi hukum Islam di dalam hukum nasionallndonesia itu ialah:
1.      ada dalam arti sebagai bagian integral dari hukum nasional lndonesia.
2.      ada dalam arti kemandirian, kekuatan dan wibawanya diakui adanya oleh hukum nasional dan diberi status sebagai hukum nasional.
3.      ada dalam hukum nasional dalam arti norma hukum Islam (agama) berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasionallndonesia.
4.      ada dalam arti sebagai bahan utama dan unsur utama hukum nasional Indonesia[11].

Bila dilihat dari realitas politik dan perundang-undangan di Indonesia nampaknya eksistensi hukum Islam semakin patut diperhitungkan seperti terlihat dalam beberapa peraturan perundangan yang kehadirannya semakin memperkokoh Hukum Islam:

1.    Undang-Undang Perkawinan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan dan diundangkan di Jakarta Pada tanggal 2 Januari 1974 (Lembaran Negara Tahun 1974 No. Tambahan Lembaran Negara Nomer 3019).
2.    Undang-Undang Peradilan Agama
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 1989 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 No. 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3400). Kemudian pada tanggal 20 Maret 2006 disahkan UU Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agarna. Yang melegakan' dari UU ini adalah semakin luasnya kewenangan Pengadilan Agama khususnya kewenangan dalam menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syari'ah. Untuk menjelaskan berbagai persoalan syari'ah di atas Dewan Syari'ah Nasional (DSN) telah mengeluarkan sejumlah fatwa yang berkaitan dengan ekonomi syari'ah[12] yang sampai saat ini jumlahnya sudah mencapai 53 fatwa. Fatwa tersebut dapat menjadi bahan utama dalam penyusunan kompilasi tersebut.
Sehubungan dengan tambahan kewenangan yang cukup banyak kepada pengadilan agama sebagaimana pada UU No. 3 tahun 2006 yaitu mengenai ekonomi syari'ah, sementara hukum Islam mengenai ekonomi syari'ah masih tersebar di dalam kitab-kitab fiqh dan fatwa Dewan Syari'ah Nasional, kehadiran Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah (KHES) yang didasarkan pada PERMA Nomor 2 Tahun 2008, tanggal 10 September 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah, menjadi pedoman dan pegangan kuat bagi para Hakim Pengadilan Agama khususnya, agar tidak terjadi disparitas putusan Hakim, dengan tidak mengabaikan penggalian hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat sebagaimana maksud Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah terdiri dari 4 Buku, 43 Bab, 796 Pasal.

3.    Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji
Undang-Undang No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 3 Mei 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3832), yang digantikan oleh UU Nomor 13 Tahun 2008. UU pengganti ini memiliki 69 pasal dari sebelumnya 30 pasal. UU ini mentikberatkan pada adanya pengawasari dengan dibentuknya Komisi Pengawasan Haji Indonesia [KPHI]. Demikian juga dalam UU ini diiatur secara terperinci tentang Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji [BPIH][13]. Aturan baru tersebut diharapkan dapat menjadikan pelaksanaan ibadah haji lebih tertib dan lebih baik[14].
4.      Undang-Undang Pengelolaan Zakat
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggaI 23 September 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 164, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3885).
5.      Undang-Undang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh.
Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 4 Oktober 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun1999 No.172, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No.3893).
6.      Undang-Undang Otonomi Khusus Aceh
Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 9 Agustus 2001 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 No. 114, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4134).
7.      Kompilasi Hukum Islam
Perwujudan hukum bagi umat Islam di Indonesia terkadang menimbulkan pemahaman yang berbeda. Akibatnya, hukum yang dijatuhkan sering terjadi perdebatan di kalangan para ulama. Karena itu diperlukan upaya penyeragaman pemahaman dan kejelasan bagi kesatuan hukum Islam. Keinginan itu akhirnya memunculkan Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang saat ini telah menjadi salah satu pegangan utama para hakim di lingkungan Peradilan Agama. Sebab selama ini Peradilan Agama tidak mempunyai buku standar yang bisa dijadikan pegangan sebagaimana halnya KUH Perdata. Dan pada tanggal 10 Juni 1991 Presiden menandatangani Inpress No.1 Tahun 1991 yang merupakan instruksi untuk memasyarakatkan KHI.
8.      Undang-undang tentang Wakaf
Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 Oktober 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 159, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4459). Kemudian pada tanggal 15 Desember 2006 ditetapkanlah peraturan pemerintah Republik. Indonesia Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Maksud penyusunan peraturan pelaksanaan PP ini adalah untuk menyederhanakan pengaturan yang mudah dipahami masyarakat, organisasi dan badan hukum, serta pejabat pemerintahan yang mengurus perwakafan, BWI, dan LKS, sekaligus menghindari berbagai kemungkinan perbedaan penafsiran terhadap ketentuan yang berlaku.
9.      Undang-Undang Tentang Pemerintahan Aceh
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, semakin menegaskan legalitas penerapan syariat Islam di Aceh. Syariat Islam yang dimaksud dalam undang-undang ini meliputi ibadah, al-ahwal alsyakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syi'ar, dan pembelaan Islam. Di samping itu keberadaan Mahkamah Syar'iyah yang memiliki kewenangan yang sangat luas semakin memperkuat penerapan hukum Islam di Aceh. Mahkamah Syar'iyah merupakan pengadilan bagi setiap orang yang beragama Islam dan berada di Aceh. Mahkamah ini berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang al-ahwal al-syakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata) tertentu, jinayah (hukum pidana) tertentu, yang didasarkan atas syari'at Islam.
10.  Undang-undang Tentang Perbankan Syari'ah[15]
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang diundangkan pada tanggal 10 November 1998, menandai sejarah baru di bidang perbankan yang mulai memberlakukan sistem ganda duel system banking di Indonesia, yaitu sistem perbankan konvensional dengan piranti bunga, dan sistem perbankan dengan peranti akad-akad[16] yang sesuai dengan prinsip-prinsip[17] syariah. Sejarah perbankan secara faktual telah mencatat bahwa dalam kurun waktu antara tahun 1992 hingga Mei 2004 telah berkembang pesat perbankan syariah. Secara kuantitatif jumlah bank syariah pada tahun 1992 hanya ada satu Bank Umum Syariah, yaitu Bank Mu'amalat Indonesia, dan BPRS, tetapi saat ini telah ada dua Bank Umum Syariah dengan 114 kantor cabang dan pembantu Bank Syariah.

Di samping beberapa undang-undang di atas ada tiga faktor yang menyebabkan hukum Islam masih memiliki peran besar dalam kehidupan bangsa kita. Pertama, hukum Islam telah turut serta menciptakan tata nilai yang mengatur kehidupan umat Islam, minimal dengan menetapkan apa yang harus dianggap baik dan buruk, apa yang menjadi perintah, anjuran, perkenan, dan larangan agama. Kedua, banyak keputusan hukum dan unsur yurisprudensial dari hukum Islam telah diserap menjadi bagian dari hukum positif yang berlaku. Ketiga, adanya golongan yang masih memiliki aspirasi teokratis di kalangan umat Islam dari berbagai negeri sehingga penerapan hukum Islam secara penuh masih menjadi slogan perjuangan yang masih mempunyai appeal cukup besar.Terkait dengan upaya tersebut − dalam tulisan ini − penulis ingin lebih fokus melihat sumbangan tradisi hukum Islam atau hukum fiqh dalam rangka pembangunan hukum nasional. Karena, hukum Islam (hukum fiqh) itu sendiri secara umum memang diakui sebagai salah satu sumber dalam rangka pembaruan hukum di Indonesia, selain hukum adat dan hukum barat. Bagaimana pun, hukum barat, hukum adat, maupun hukum Islam itu, mempunyai kedudukan yang sama sebagai sumber norma bagi upaya pembentukan hukum nasional. Selain itu, secara sosiologis, kedudukan hukum Islam (hukum fiqh) itu sendiri di Indonesia, melibatkan kesadaran keagamaan mayoritas penduduk yang sedikit banyak berkaitan pula dengan masalah kesadaran hukum. Baik norma agama maupun norma hukum selalu sama-sama menuntut ketaatan. Apalagi, jika norma hukum itu disebandingkan dengan aspek hukum dari norma agama itu, akan semakin jelaslah keeratan hubungan antara keduanya. Keduanya sama-sama menuntut ketaatan dan kepatuhan dari warga masyarakatnya.
Tahir Azhari mengatakan bahwa hukum Islam mengikat setiap individu yang beragama Islam untuk melaksanakannya, yang implementasinya terbagi dalam 2 perspektif, yaitu : ibadah mahdlah, dan tanpa campur tangan penguasa kecuali untuk fasilitasnya  muamalah, baik yang bersifat perdata maupun publik, yang melibatkan kekuasaan negara. Kontribusi baru dari hukum Islam terhadap hukum nasional adalah berupa kehadiran Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah melalui PERMA Nomor 02 Tahun 2008. Pasal 1 Perma tersebut menyatakan bahwa Kitab ini menjadi pedoman prinsip syari'ah bagi para Hakim dengan tidak mengurangi tanggung jawab Hakim untuk menggali dan menemukan hukum untuk menjamin putusan yang adil dan benar.

Selain karena alasan sosiologis dan alasan praktis-pragmatis di atas, keeratan hubungan antara ulama dan umara serta agama dan hukum, termasuk dalam dan untuk Hukum Pidana yang hendak diperbaharui itu, dapat pula dilihat secara filosofis-politis dan yuridis. Secara filosofis-politis, keeratan hubungan keduanya dapat dilihat dari perspektif Pancasila yang menurut doktrin ilmu hukum di Indonesia merupakan sumber dari segala sumber hukum. Di dalam Pancasila itu sendiri, agama mempunyai posisi yang sentral. Di dalamnya, terkandung prinsip yang menempatkan agama dan ke-Tuhanan Yang Maha Esa dalam posisi yang pertama dan utama. Demikian juga dengan tinjauan juridis, kedudukan agama dalam konteks hukum dan keeratan hubungan antara keduanya dijamin menurut Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 29 UUD 1945 yang menyatakan:
1.      Atas berkat Rahmat Allah Yang Mahakuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia,menyatakan dengan ini kemerdekaannya."
2.      Negara berdasar atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa."
3.      Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu."
Dilihat dari sketsa historis, hukumislam masuk ke indonesia bersama masuknya islam ke Indonesia pada abad ke 1 hijriyah atau 7/8 masehi. Sedangkan hukum barat bary diperkenalkan VOC awal abad 17 masehi. Sebalum islam masuk indonesia, rakyat indonesia menganut hukum adat yang bermacam-macam sistemnya dan sangat majemuk sifatnya. Namun setelah islam datang dan menjadi agama resmi di berbagai kerajaan nusantara, maka hukum islam pun munjadi hukum resmi kerajaan-kerajaan tersebut dan tersebar manjadi hukum yang berlaku dalam masyarakat.
Dalam pembentukan hukum islam di indonesia, kesadarn berhukum islam untuk pertama kali pada zaman kemeerdekaan adalah di dalam Piagam Jakarta 22 juni 1945 , yang di dalam dasar ketuhanan diikuti dengan pernyataan “dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Tetapi dengan pertimbangan untuk persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia akhirnya mengalami perubahan pada tanggal 18 Agustus 1945 yang rumusan sila pertamanya menjadi “ketuhanan yang maha esa”. Meskipun demikian, dalam berbagai macam peraturan perundang-undangan, hukumislam telah benar-benar memperoleh tempat yang wajar secara kontitusional yuridik.
Untuk mewujudkan Hukum Islam dapat menjadi lebih prospektif dalam kodifikasi hukum nasional pada masa datang political will para legislator di tingkat pusat dan daerah rnerupakan prasyarat utama. Putusan-putusan Pengadilan/Hakim yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat yang islami turut berperan pula.
Demikian pula halnya dengan peran akademisi dalam pengembangan dan penelitian yang dapat menunjang perkembangan hukum Islam di Indonesia. Dan yang juga tidak kalah pentingnya adalah peran para ulama, kyai yang mengajarkan dan tetap menyiarkan materi-materi hukum Islam kepada para santri serta jamaahnya yang tersebar di berbagai pelosok tanah air. Dalam buku-buku Tafsir disebutkan bahwa para legislator, yuris, pemerintah, dan ulama/akademisi, termasuk dalam makna uli al-amr, yang termasuk untuk ditaati sebagaimana perintah Allah dalam surat al-Nisa, ayat : 59.
Demikian beberapa argumen yang memberikan peluang kepada hukum Islam untuk berkembang dan layak dijadikan bahan pertimbangan dalam pcmbangunan. Hukum nasional, karena bangsa Indonesia perlu menformulasikan hukum sesuai dengan filsafat hukum Indonesia, sebab aturan hukum yang ada sekarang ini masih banyak yang merupakan warisan bangsa Belanda. Contohnya sistem Hukurn Pidana yang kita berlakukan sampai saat ini merupakan warlsan Belanda yang diperuntukkan berlakunya terutama bagi bangsa Indonesia sebagai bangsa yang terjajah. Pada waktu itu sistem hukum demikian sesuai dengan keadilan menurut versi penjajah. Setelah Indonesia merdeka tentu perlu ditinjau kembali dan kalau tidak sesuai dengan kebutuhan bangsa serta rasa keadilan kiranya tidak perlu dan tidak akan dipertahankan[18].
Dengan demikian kontribusi umat islam dalam petrumusan dan penegakan hukum sangat besar. Ada pun upaya yang harus dilakukan untuk penegakan hukum dalam praktek bermasyarakat dan bernegara yaitu melalui proses kultural dan dakwah. Apabila islam telah menjadikan suatu keebijakan sebagai kultur dalam masyarakat, maka sebagai konsekuensinyahukum harus ditegakkan. Bila perlu “law inforcement” dalam penegakkan hukum islam dengan hukum positif yaitu melalui perjuangan legislasi. Sehingga dalam perjaalananya suatu ketentuan yang wajib menurut islam menjadi wajib pula menurut perundangan.



BAB III
PENUTUP

3.1.       Kesimpulan

Hukum Islam adalah hokum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama Islam. Konsepsi hukum islam, dasar, dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah. Hukum tersebut tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia dan benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dalam masyarakat, dan hubungan manusia dengan benda alam sekitarnya.
Perkembangan hukum Islam di Indonesia memiliki peluang yang sangat cerah dalam pembangunan hukum nasional, karena secara sosioantropologis dan emosional, hukum Islam sangat dekat dengan rnasyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Se!ain itu secara historis hukum Islam telah dikenal jauh sebelum penjajah masuk ke Indonesia. Peluang bagi masa depan hukum Islam di Indonesia juga terbuka karena telah banyak aturan dalam hukum Islam yang disahkan menjadi hukum nasional, dan hal ini memperlihatkan bagaimana politicall will pemerintah yang memberikan respon dan peluang yang baik bagi hukum Islam. Dengan melihat realitas kedekatan, kompleksitas materi hukum Islam pada masa datang, peluang hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional akan lebih luas lagi.
Demikian juga peran akademisi yang melakukan pengembangan dan penelitian yang konstruktif dapat menunjang perkembangan hukum Islam di Indonesia. Yang tidak kalah pentingnya adalah peran para ulama, kyai yang secara ikhlas mengajarkan dan tetap menyiarkan materi-materi hukum Islam kepada para santri serta jamaahnya yang tersebar di berbagai pelosok tanah air. Semua itu secara alami akan tetap menjaga keberadaan hukum Islam di Indonesia.
Ada tiga faktor yang menyebabkan hukum Islam masih memiliki peran besar dalam kehidupan bangsa kita. Pertama, hukum Islam telah turut serta menciptakan tata nilai yang mengatur kehidupan umat Islam, minimal dengan menetapkan apa yang harus dianggap baik dan buruk, apa yang menjadi perintah, anjuran, perkenan, dan larangan agama. Kedua, banyak keputusan hukum dan unsur yurisprudensial dari hukum Islam telah diserap menjadi bagian dari hukum positif yang berlaku. Ketiga, adanya golongan yang masih memiliki aspirasi teokratis di kalangan umat Islam dari berbagai negeri sehingga penerapan hukum Islam secara penuh masih menjadi slogan perjuangan yang masih mempunyai appeal cukup besar.







[1] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), edisi
ketiga, hal. 592.
[2] AS Hornby, et. Al., OxfordAdvanced Dictionary of Current English, (edidi revisi), (london:
Oxford University [t. th.], ed. I (1942), hal. 186-187.
[3] Ulasan berikut dikutif dan disarikan dari, Rifyal Ka'bah, , Hukum Islam di Indonesia, Buletin Dakwah, 19
Mei 2006.
[4] Sunaryati Hartono, mantan Kepala BPBN, mengatakan bahwa sebenarnya bangsa Indonesia
belum mempunyai hukum nasional, dan yang paling banyaknya baru hukum di Indonesia. John Ball,
Guru Besar di Sidney University, menyebut keadaan hukum di Indonesia sebagai "The struggle for a
national law." Lev mengatakan ada pertentangan-pertentang kepentingan antara golongan-golongan
ideologi dalam hukum (Barat, Adat, dan Islam) sehingga hukum lama masih tetap juga dipakai dan belum
ada konsensus untuk menggantinya. (Bustanul Arifin, Transformasi Syariah ke dalam Hukum Nasional
(Bertenun dengan Benang-benang Kusut), Jakarta : Yayasan Al-Hikmah, 1999), hal. 5 dan 11).
[5] Untuk lebih lengkap baca Muchsin, Ikhtisar Sejarah Hukum, Jakarta: BP IBLAM, 2004, hal .9-22
[6] Hadis adalah “Segala sesuatu yang diambil dari Nabi Muhammad Saw baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir (ketentuan), pengajaran, sifat, kelakuan dan perjalanan hidup baik yang terjadi sebelum masa kenabian ayau sesudahnya”

[7] Ijtihad ialah bersungguh-sungguh menggunakan akal pikiran untuk merumuskan dan menetapkan hukum atau suatu perkara yang tidak ditemukan kepastian hukumnya dalam Al-Qur’an maupun Hadits.

[8] Untuk lebih lengkap baca Muchsin, Ikhtisar Sejarah Hukum, Jakarta: BP IBLAM, 2004
[9] Untuk lebih lengkap baca Muchsin, Ikhtisar Sejarah Hukum, Jakarta: BP IBLAM, 2004
[10] Muchsin, Masa Depan Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: BP IBLAM, 2004, hal. 17-18.
[11] 14Iehtijanto, Pengembangan Teori berlakllnya hllkllm Islam di Indonesia, dalam Hukum Islam di
Indonesia, Bandung: Remaja Rosdakarya eet. ke-2 1994, hal. 137
[12] Sedangkan yang dimaksud dengan ekonomi syariah, seperti yang diulas dalam penjelasan UU
ini adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari'ah yang antara lain
meliputi: bank syari'ah, lembaga kuangan mikro syari'ah, asuransi syari'ah, reasuransi syari'ah, reksadana
syari'ah, obligasi syari'ah dan surat berharga berjangka menengah syari'ah, sekuritas syari'ah, pembiayaan
syari'ah, pegadaian syari'ah, dana pensiun lembaga keuangan syari'ah dan bisnis syari'ah.
[13] BPIH disetorkan ke rekening Menteri melalui bank syariah dan / atau bank umum nasional
yang ditunjuk oleh Menteri (Pasal 22).
[14] Republika, Rabu 2 April 2008, hal. 5
[15] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 (selanjutnya disebut UU No. 21 Tahun
2008) tentang Perbankan Syariah menyebutkan bahwa perbankan syariah adalah segala sesuatu yang
menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta
cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.
[16] Akad-akad dimaksud antara lain adalah : wadi'ah, mudharabah, musyarakah, ijarah, ijarah
muntahiya bit-tamlik, murabahah, salam, istishna'I, qardh, wakalah, atau akad lain yang sesuai dengan
prinsip syariah.
[17] yaitu antara lain yang tidak mengandung unsur : riba, maysir, gharar, haram, dan zalim.
[18] Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia. PT RajaGrafindo Persada, Jakarta: 2003, cet.
Kedelapan, hal. 170.