HUKUM
ISLAM DAN KONTRIBUSI UMAT ISLAM
DI
INDONESIA
1.1.
Latar
Belakang.
Islam
sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk Indonesia, tentu sangat
berpengaruh terhadap pola hidup bangsa Indonesia. Perilaku pemeluknya tidak
lepas dari syari'at yang dikandung agamanya. Melaksanakan syari'at agama yang
berupa hukum-hukum menjadi salah satu parameter ketaatan seseorang dalam menjalankan
agamanya. Ada beberapa kata yang harus diberikan penjelasan dari judul di atas,
yaitu: kontribusi, hukum Islam, perkembangan, hukum, dan nasional. Kamus Besar
Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa kata "kontribusi" berarti sumbangan.
Kamus
bahasa Inggeris (Oxford) menyebutnya dengan contribution, yang berarti act of contributing, perbuatan memberikan sumbangan[1].
Menurut penulis, sumbangan yang dimaksud
dengan kata tersebut pada umumnya bersifat immaterial[2].
Kata hukum yang dikenal dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab hukum yang berarti putusan (judgement) atau ketetapan (Provision). Dalam buku Ensiklopedi Hukum Islam, hukum
berarti menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakannya.
Sementara
dalam A Dictionary of Law dijelaskan tentang pengertian
hukum sebagai berikut "Law is
"the enforceable body of rules that govern any society or one of the rules
making up the body of law, such as Act of Parliament." "Hukum adalah suatu kumpulan aturan
yang dapat dilaksanakan untuk mengatur/memerintah masyarakat atau aturan apa
pun yang dibuat sebagai suatu aturan hukum seperti tindakan dari Parlemen."
Bagi kalangan muslim, jelas yang
dimaksudkan sebagai hukum adalah Islam, yaitu keseluruhan aturan hukum yang
bersumber pada AIquran, dan untuk kurun zaman tertentu lebih dikonkretkan oleh
Nabi Muhammad dalam tingkah laku Beliau, yang lazim disebut Sunnah Rasul. Sementara
itu Rifyal Ka'bah[3]
mengemukakan
bahwa hukum Islam adalah terjemahan dari istilah Syari'at Islam (asy-syari'ah al-lslamiyyah) atau
fiqh Islam (alfiqh al- Islami). Syariat
Islam dan fiqh Islam adalah dua buah istilah otentik Islam yang berasal dari
perbendaharaan kajian Islam sejak lama. Kedua istilah ini dipakai secara
bersama-sama atau silih berganti di Indonesia dari dahulu sampai sekarang dengan
pengertian yang kadangkadang berbeda, tetapi juga sering mirip. Hal ini sering
menimbulkan kerancuan-kerancuan di kalangan masyarakat bahkan di antara para
ahli. Kaidah-kaidah yang bersumber dari Allah SWT kemudian lebih dikonkretkan diselaraskan
dengan kebutuhan zamannya rnelalui ijtihad atau penemuan hukum oleh para mujtahid dan
pakar di bidangnya masing-masing, baik secara perorangan maupoun kolektif.
1.2.
Rumusan
Masalah.
Berdasarkan latar belakang
permasalahan yang ada maka dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut ini :
1.
Apa pengertian Hukum Islam ?
2.
Apa saja Sumber – Sumber Hukum Islam ?
3.
Apakah Fungsi Hukum Islam dalam
Kehidupan Masyarakat ?
4.
Apa Kontribusi Umat Islam dalam
Perumusan Sistem Hukum Nasional ?
1.3.
Tujuan Penulisan.
Adapun tujuan yang ingin
dicapai, adalah :
1.
Untuk mengetahui pengertian
hukum islam
2.
Untuk mengetahui sumber –
sumber Hukum Islam
3.
Untuk mengetahui fungsi
hukum islam dalam kehidupan masyarakat
4.
Untuk menambah wawasan
tentang kontribusi umat islam dalam perumusan sistem hukum nasional
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Hukum Islam
Hukum adalah seperangkat norma atau
peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku manusia, baik norma atau
peraturan itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarkat
maupun peraturana atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan
oleh penguasa. Bentuknya bisa berupa hukum yang tidak tertulis, seperti hukum
adat, bisa juga berupa hukum tertulis dalam peraturan perundangan-undangan.
Hukum sengaja dibuat oleh manusia untuk mengatur hubungan manusia dengan
manusia lain dan harta benda. Sedangkan hukum Islam[4]
adalah hokum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama Islam. Konsepsi hukum
islam, dasar, dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah. Hukum tersebut tidak
hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia dan benda dalam masyarakat,
tetapi juga hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia
dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dalam masyarakat,
dan hubungan manusia dengan benda alam sekitarnya.
Sebagai sistem hukum, hukum Islam
berbeda dengan sistem hukum lain, yang pada umumnya terbentuk dan berasal dari
kebiasaan-kebiasaan masyarakat dan hasil pemikiran manusia serta budaya manusia
pada suatu tempat dan masa. Hokum Islam tidak hanya merupakan hasil pemikiran
yang dipengaruhi kebudayan manusia di suatu tempat dan masa, tapi pada dasarnya
ditetapkan Allah melalui wahyu-wahyuNya, yang terdapat dalam Al-Quran dan
dijelaskan oleh nabi Muhammad sawsebagai rasulNya melalui sunah-sunah beliau
yang kini pun tehimpun dalam kitab-kitab hadits. Dasar inilah yang membedakan
hokum Islam secara fundamental dengan hukum-hukum lain yang semata-mata lahir
dari kebiasaan dan hasil pemikiran atau buatan manusia. Hokum islam
diperkenalkandengan berbagai istilah yang saat ini telah popular di lingkungan
umat Islam. Ada istilah syariat, hokum syara, maupun fiqih. Bagi setiap umat
Islam selayaknya memahami ketiga istilah tersebut, agar memiliki wawasan yang
cukup mengenai wilayah dan cukupan-cakupan ilmu agama islam.
Syariat adalah segala sesuatu yang
ditetapkan oleh Allah swt. Bagi hamba-hambaNya yang dibawa oleh para Nabi Allah
termasukNabi Muhammad saw. Baik yang berkaitan dengan teknik suatu aml
perbuatan (yang kemudian tersusun dalam ilmu fiqih), maupun persoalan-persoalan
kepercayaan dan keimanan (yang kemudian tersusun dalam ilmu kalam). Istilah syariat
ini sering pula disebut dengan istilah ad-diin
dan al-millah (agama). Adapula yang mendefinisikan syariat dengan pengertian
segala sesuatu yang Allah SWT bagi hambaNya yaitu agama, atau segala sesuatu
yang telah ditunjukkan jalanNYa oleh Allah, berupa agama dan segala
perintah-perintahNya seperti puasa, shalat, haji, zakat, dan segenap amal
kebaikan. Dari uraian di atas tampak bahwa istilah syariah mencakupi yang di
ajarkan dan ditetapkan oleh Allah melalui nabiNya, baik yang berkaitan dengan
masalah teologi (keyakinan), masalah ritual (peribadatan), masalah social
(kemasyarakatan), maupun moral (etika).
Hukum syara’ adalah firman Allah
yang mengikat (mengatur) tindakan-tindakan orang mukallaf (orang Islam yang
telah layak menerima hak dan kewajiban hukum) baik yang berupa tuntutan,
pilihan, maupun penetapan.
Hokum syara dibagi menjadi 2 bagian:
1.
Al-hukmu
at-taklifiy (hokum yang bersifat pembebanan
),menurut mayoritas ulama ada 5 tingkatan:
Ø Ijab/ wajib (kewajiban), yaiti suatu perbuatan jika
dilakukan mendapat imbalan phala dan kalau ditinggalkan akan mendapat siksa dan
dosa.
Ø Sunnah/ mandub (anjuran), yaitu suatu perbuatan jika
dilakukan mendapat imbalan tetapi jika ditinggalkan tidak memiliki resiko
berdosa.
Ø Ibahah/ mubah (kebolehan), yaitu suatu pernuatan jika
dikerjakan mauoun ditinggalkan tidak mengandung konsekuensi pahala ataupun
dosa.
Ø Karahah/ makruh (kebencian/ keterpaksaan), yaitu perbuatan
jika ditinggalkan akan mendapatkan imbalan pahala dan jika dikerjakan tidak
beresiko siksa dan dosa.
Ø Tahrim/ haram (larangan) yaitu suatu perbuatan jika
dikerjakan akan mendapat siksa dan dosa, dan jika ditinggalkan akan dapat
imbalan paahala.
2.
Al-hukmu
al-wadl’iy (hukum yang bersifat
penetapan-penetapan khusus), terdiri dari ketetapan-ketetapan yang menentukan
kberlakuan hokum taklifiy, yaitu:
Ø As-sabab (sebab), yaitu sesuatu yang ditetapkan oleh Allah
sebagai factor datangnya ketentuan hokum taklifiy, seprti condongnya matahari
ke arah barat menjadi factor datangnya sholat dhuhur; seperti hadinya suatu
penyakit atau kegiaatan bepergian (musafir) menjadi dihapuskannya skewajiban
puasa ramadhan pada hari itu. Jadi, ada hubungan sebab akibat antara datangnya
suatu factor dengan datangnya hokum.
Ø As-syarath (syarat) yaitu sesuatu yang ditetapkan oleh Allah
untuk menjadi factor bagi keabsahan suatu hokum walaupun tidak memiliki
hubungan mutlak sebaab akibat, seperti akaad nikah yang sah merupakan syarat
ditetaapkannya talak/ perceraian karena tidak ada perceraian jika sepasang
manusia tidak pernah maenikah secara sah, dan seoarang yang menikah secara sah,
dan seorang yang menikah secara sah dan tidak selalu berakhir dengan
perceraian.
Ø Al- mani’ (penghalang), ayitu segala seduatu yangt
ditetapkan oleh Allah menjadi penghalang pelaksanaan suatu hukum. Maka jika
sesuatu itu ada, secara otomatis hukum itu tidak berlaku, seperti batalnya hak
mewarisi bagi seorang pembunuh bagi yang dibunuhnya. Dalam hukum waris, seorang
anak memperoleh bagian harta waris dari orang tuanya dalam keadaan apapun juga.
Namun hal ini bisa di anulir jika terbukti ternyata anak tersebut ternyata
menjadi pembunuh bagi orang tuanya. Maka dalam hal ini “membunuh”adalah mani’/
penghalanh untuk menerima waris.
Ø Azimah (ketetapan reguler), yaitu ketetapan Allah yang
disampaikan kepada umatnya secara umum dengan tidaka disertai dengan
relevansi-relevansi khusus baiak dalam keadaan tertentu maupun terhadap
kelompok tertentu. Seperti shalat 5 waktu dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
waktu dan jumlah rekaatnya.
Ø Rukhshah (dipensasi), yaitu ketetapan Allah untuk memberikan
dipensasi bagi umatnya dalam keadaan khusus yang menghajatkan seperti itu.
Seperti shalat dhuhur yang dapat digabung dengan shalat ashar dengan masing-
masing dua rekaat saja (disebut dengan jama’ dan qashar); orang yang sakit
memperoleh dispensasi puasa ramadhan untuk dikerjakan di bulan lainnya saja.
Ø As-Shihhah (valid/ absah) yaitu ketetapan Allah bagi
amalan-amalan yang telah memenuhi standar kriteria syarat dan rukunnya. Seperti
shalat yang dilakukan sebagaimana syarat dan ketentuan secara lengkap maka
shalat itu ditetapkan sabagai shalat yang sah.
Ø Al- buthlan (batal) yaitu ketetapan Allah bagi amalan-amalan
yang telah memenuhi ketetentuan syarat dan rukun padahal tidak memiliki
dispensasi apapun.
Istilah fiqh didefinisikan denngan pengetahuan tentang
hukum-hukum syara yang bersifat praktis dari dalil-dalil yang terperinci, yang
dihasilakan dari rasio dan ijtihad melalui proses pemikiran dan perenungan. Banyak
definisi tentang fiqh, ada yang menyebutkan bahwa fiqh dengan ilmu pengetahuan
tentang hukum syara’ yang praktis digali dari sumber-sumbernya yang terperinci.
Oleh karena itu, fikih bersifat instrumental, dari ruang lingkupnya terbatas
pada hukum yang mengatur perbuatan manusia, yang disebut dengan perbuatan
hukum. Karena fikih adalah hasil karya manusia, maka ia tidak berlaku abadi dan
dapat berubah dari masa ke masa, dan dapat berbeda dari satu tempat ke tempat
yang lain. Hal ini terlihat dari aliran- aliran hukum yang disebut dengan
istilah mazahib atau mahzab-mahzab. Oleh karena itu, dalam fikih menunjukan
keragamandalam hukum islam. Fikih dalam bahasa indonesia berisi
perincian-perincian sdari syariah karena itu ia dapat dikatakan sebagai
elaborasi terhadap syariah. Elaboarsiyang dimaksud adalah suatu kegiatan
ijtihad dengan menggunakan akal pikiran atau ar-ra’yu.
Yang dimaksud ijtihad[5]
adalah usaha atau ikhtiar yang sungguh-sungguh dengan memprgunakan segenapa
kemampuan yang ada, dilakukan oleh orang (ahli hukum) yang memenuhi syarat
untuk mendapat garis hukum yang belum jelas atau tidak ada ketentuannya dalam
al-quran dan sunah Rasulullah. Jika mempelajari kitab-kitab fikih, mak
seseorang akan menemukan pemiikiran para fukaha antara lain pendiri empat
mazhab yang dikenal sampai sekarang masih berpengaruh dikalanngan umat islam
sedunia, yaitu: Abu Hanifah (pendiri mazhab hanafi), Malik bin Annas (pendiri
mazhab Maliki), Muhammad bin Idris asy Syafi’I (pendiri mazhab Syafi’i), dzan
Ahmad bin Hambal (pendiri mazhab Hambali). Para yuris islam tersebut sangat
berjasa bagi perkembangan hokum islam melalui pemikiran-pe ikiran mereka yang
mengagumnkan.
Menurut Tahir Azhary, ada tiga sifat hukum Islam, Dengan
sifat ini, hukum islam mempunyai validitas baik bagi perorangan maupun
masyarakat. Sifat-sifat itu adalah:
Ø
Bidimensional yang artinya menhgandung
sehi kemanusiaan dan segi ketuhanan (illahi) sehingga luas atau komprehensif.
Hukum Islam tidak hanya mengatur satu aspek kehidupan tetapi juga mengatur
berbagai aspek kehidupan manusia. Sifat inilah yang merupakan sifat dasar hukum
islam dan merupakan fitrah (sifat asli) hukum islam.
Ø
Adil, sifat ini merupakan tujuan
penetapan hukum islam, dan telah melekat sejak kaidah-kaidah dalam syariah
ditetapkan. Keadilan merupakan sesuatu yang di dambakan oleh setiapm manusia
baik sebagai individu, maupun masyarakat.
Ø
Individualistik, dan kemasyarakatan
yang diikat oleh nilai-nilai transdental yaituwahyu Allah yang di sampaikan
kepada nabi Muhammad saw.
2.2. Sumber Hukum Islam
Di dalam hukum islam rujukan-rujukan dan dalil telah
ditentukan sedemikian rupaoleh syariat, mulai dari sumber yang pokok maupun
yang bersifaat alternatif. Sumber tertib hukum Islaam ini secara umumnya dapat
dipahami dalam firaaman Allah dalam QS. An-nisa: 59, “wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilalh
RasulNyadaan ulil amri di antara kamu. Jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu maka kembalikanlah ia pada Allah (al quran) dan Rasul (sunnahnya) jika
kamu benar-benar bberiman kapada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik (akibatnya).
Dari ayat tersebut, dap[at diperoleh pemahaman bahwa umat
islam dalam menjalankan hokum agamanya harus didasarkan urutan:
v
Selalu menataati Allah dan
mengindahkan seluruh ketentuan yang berlaku dalam alquran.
v
Menaati Rasulullah dengan memahami
seluruh sunnah-sunnahnya.
v
Menaati ulil amri (lembaga yang
menguasai urusan umat islam.
v
Mengenbalikan kepada alquran dan
sunah jika terjadi perbedaan dalam menetapkan hukum,
Secara lebih teknis umat islam dalam berhukum harus
memperhatikan sumber tertib hukum:
1.
Al Quran
2.
Sunah atau hadits Rasul
3.
Ijtihad
- Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Utama
Al-Quran juga di definisikan ialah 'Kalam Allah Swt yang diwahyukan kepada
nabi yang terakhir Muhammad Saw, yang merupakan mukjizat yang terbesar
diberikan Allah Swt terhadap Rasul Saw dan membacanya merupakan ibadah
(pahala).
Dalam al-quran juga disebutkan ada beberapa nama lain
Al-quran seperti :
· Al-kitab
· Al-Syifa (obat)
· Al-Huda’ (petunjuk)
· Al-Furqan (pembeda), dan
· Al-Mau’izhah (nasihat).
Artinya, Al-Qur’an adalah kitab yang
berisikan petunjuk allah Swt untuk menjelaskan berbagai hal yang berkaitan
dengan kehidupan hambanya, membedakan antara yang haq dan yang bathil, serta
menjadi peringatan, obat dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Sebagaimana
yang telah diwahyukan oleh Allah Swt dalam QS.Al-Isra’ 82:
“ Dan kamiturunkan dari Al-quran suatu yang menjadi penawar
dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-quran itu tidaklah menambah
kepada orang-orang yang zalim selain kerugian”.
Al-Qur’an adalah sumber hukum utama dan pertama dalam islam. Karena
setiap muslim wajib berpegang teguh kepada isi kandungan Al-Qur’an dan menempatka Al-Qur’an sebagai rujukan
utama dan pertama dalam menetapkan suatu hukum Allah SWT berfirman :
Artinya: Barangsiapa
yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir. (QS. al-Maidah: 44).
Dalam ayat lain Allah berfirman:
Artinya: Dan
tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, Akan ada
bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan Barangsiapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang
nyata. (al- Ahjab: 36).
Kedua ayat ini menegaskan kepada kita untuk selalu berpegang
teguh pada al-qur’an dan hadis sebagai dasar dan sumber hukum-hukum islam dan
melarang kita untuk menetapkan suatu perkara yang tidak sesuai dengan al-qur’an
dan hadis serta dilarang untuk mendurhakai allah dan rasul-Nya.
2. Al-Hadits[6]
Sebagai Sumber Hukum Kedua
As-sunnah menurut istilah yang
dirumuskan oleh ‘Ulama Hadis adalah “Segala sesuatu yang diambil dari Nabi
Muhammad Saw baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir (ketentuan),
pengajaran, sifat, kelakuan dan perjalanan hidup baik yang terjadi sebelum masa
kenabian ayau sesudahnya”
Sedangkan menurut ‘ulama Fiqh : “ Segala
sesuatu yang diambil dari Nabi Muhammad Saw baik berupa perkataan, perbuatan,
ketetapan(taqrir) yang mempunyai kaitan dengan hukum “
Berdasarkan pengertian di atas , dapat diklasifikasikan kepada 4 macam yaitu;
a.
Hadis
Qauliyah
Seluruh hadis yang bersumber dari
perkataan Nabi Muhammad saw, baik dalam bentuk perintah, larangan, anjuran atau
nasehat , dan lain-lain. Yang dapat dijadikan dalil untuk menetapkan hokum
syara’
b.
Hadis
Fi’liyah
Seluruh hadis yang bersumber dari
perilaku atau perbuatan yang ditampilkan oleh Nabi Muhammad Saw agar diconthkan
atau diteladani oleh umatnya.Contohnya: tata cara wudu’ , shalat, haji, dan
lain-lain yang diperbua dan dicontohkan oleh Nabi.
c.
Hadis
Taqririyah
Seluruh
hadis yang berbentuk ketetapan atau persetujuan Nabi Muhammad Saw terhadap
suatu perkara yang dilakuakn sahabat atau umatnya. Dalam hal ini, Nabi Muhammad
Saw memberikan persetujuan atau ketetapan terhadap hal-hal positif yang
dilakukan sahabatnya. Sebagai contoh, nabi Muhammad saw menyetujui
kalimat-kalimat azan yang dikumandangkan oleh sahabat yang bernama Bilal Nin
rabbah.
- Hadis Hamiyah
Hadis nabi Muhammad Saw yang masih
berbentuk harapan. Menurut ahli hadis, bentuk hadis seperti ini sangat sedikit,
bahkan ada yang mengatakan tidak ada,. Hal ini dikarenakan Nabi Muhammad Saw
adalah sosok teladan yang tidak pernah meminta umatnya melakukan sesuatu
sebelum ia sendiri melakukannya. Begitupun, ada yang berpendapat bahwa Nabi
Muhammad saw pernah berniat untuk berpuasa pada Muharram, tetapi sebelum ia
menunaikannya, beliau telah dipanggil Allah Swt inilah salah satunya sumber
informasi tentang hadis hammiyah.
Hadis merupakan salah satu sumber hokum islam yang wajib
kita taati. Allah Swt telah mewajibkan agar kita mentaati hukum-hukum dan
perbuatan-perbuatan yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw tersebut.
Hadits terdiri dari :
Ø
Matan, yaitu isi atau kandungan dari
suatu hadis yang memuat berbagai pengertian.
Ø
Sanad, yaitu jalan yang menyampaikan
kepada matan hadis,yaitu nama-nama para perawinya yang berurutan menjadi
sandaran dalam periwayatan hadis menjadi perantara Nabi Muhammad Saw sampai
kepada perawi atau orang yang meriwayatkan suatu hadis
Ø
Rawi yaitu orang-orang yang
meriwayatkan hadist
Klasifikasi Hadits
a.
Hadis Shahih
Yaitu hadits yang dapat dipakai
sebagai landasan hukum. Hadits yang sahih para perawinya bersambung sampai
kepada Nabi saw, perawinya orang yang taat beragama, kuat hafalannya dan isinya
tidak bertentangan dengan Al-Qur‟an.
b.
Hadits Hasan (baik)
Yaitu hadits yang memenuhi persyaratan
seperti perawinya semuanya bersambungan, perawinya taat beragama, agak
kuat hafalannya, tidak bertentangan dengan Al-Qur‟an dan tidak cacat di dalamnya.
c.
Hadits Daif (lemah)
Yaitu hadits yang tidak
memenuhi criteria persyaratan hadits hasan apalagi shahih.
Hadits daif tidak boleh dijadikan sebagai landasan hukum.
3.
Al-Ijtihad Sebagai Sumber Hukum Pelengkap
Menurut bahasa Ijtihad[7]
artinya bersungguh-sungguh. Menurut istilah Ijtihad ialah bersungguh-sungguh
menggunakan akal pikiran untuk merumuskan dan menetapkan hukum atau suatu
perkara yang tidak ditemukan kepastian hukumnya dalam Al-Qur’an maupun Hadits.
Hasil ijtihad dapat dijadikan sumber
hukum yang ketiga atau pelengkap. Hal itu di dasarkan kepada hadis yang
diriwiyatkan oleh Imam Tirmizi dan Abu
Daud yang berisikan dialoq antara
Nabi Muhammad Saw dengan Mua’az bin Jabal, ketika diutus ke negeri Yaman waktu
itu Nabi bertanya kepada Mu’az “ Bagaimana kamua akan menetapkan hukum kalau
dihadapkan kepadamu sutu persoalan yang memerlukan ketetapan hukum?” Mu’az
menjawab,” saya akan menetapkan hukum dengan Al-Qur’an ,” Rasul bertanya lagi “
kalau seandainya tidak ditemukan ketetapannya dengan Al-quran?” Mu’az
menjawab,” saya akan berijtihad denan pendapat saya sendiri.” Kemudian
rasulullah menepuk-nepuk bahu mu’az bin jabal tanda setuju. Dan ini merupakan
dasar hukum perlunya ijtihad. Al-quran menjelaskan ada “ULIL AMRI”yang berarti mereka yang berwenang
menetapkan suatu maslahat bagi umat. Q.S An-Nisa ayat 59.
Persoalan apa sajakah yang boleh di ijtihadkan?
Para ulama sepakat bahwa semua masalah boleh diijtihadkan
apabila kita tidak menentukan penjelasan yang rinci tentang masalah tersebut,
baik dalam al-quran maupun hadist. Karenanya kita tidak diperkenankan lagi
beijtihad dalam masalah-masalah yang sudah jelas aturan dan dasar hukumnya,
seperti shalat, puasa, zakat dan haji.
Ijtihad semakin dirasakan penting ditengah-tengah kehidupan
yang semakin maju, maka semakin banyak pula permasalahan-permasalahan baru yang
belum pernah terjadi, baik pada masa rasul,sahabat maupun pada masa-masa
sebelunya.kini semakin, banyak masalah yang memerlukan ijtihad para ulama
menentukan status atau ketentuan hukumnya.
Diantara msalah-masalah tersebut misalnya:
Ø Bayi tabung
Ø Ber-KB secara vasektomi dan tebektomi
Ø Transpalantasi organ tubuh seperti jantung buatan,
pemotongan hewan dengan mesin,transfusi darah, dan sih banyak masalah lainnya.
Bentuk-bentuk Ijtihad[8]
a.
Ijma’
Menggunakan bahasa Ijma’ berarti menghimpun, mengumpulkan
dan menyatukan pendapat. Menurut istilah ijma’ adalah kesepakatan para ulama
tentang hukum suatu masalah yang tidak tercantum di dalam Al-Qur’an dan
Al-Hadits.
b.
Qiyas
Menurut bahasa Qiyas berarti mengukur sesuatu dengan contoh
yang lain, kemudian menyamakannya. Menurut istilah, Qiyas adalah menentukan
hukum suatu maslaah yang tidak ditentukan hukumnya dalam Al-Qur’an dan
Al-Hadits dengan cara menganalogikan suatu masalah dengan masalah yang lain
karena terdapat kesamaan ‘illat (alasan).
c.
Istihsan
Menurut bahasa, Istihsan berarti menganggap/mengambil yang
terbaik dari suatu hal. Menurut istilah, Istihsan adalah meninggalkan qiyas
yang jelas (jali) untuk menjalankan qiyas yang tidak jelas (khafi), atau
meninggalkan hukum umum (universal/kulli) untuk menjalankan hukum khusus
(pengecualian/istitsna’), karena adanya alasan yang menurut pertimbangan logika
menguatkannya. Contoh: menurut istihsan sisa minuman dari burung-burung yang
buas seperti elang, gagak, rajawali dan lain-lain itu tetap suci berbeda dengan
sisa minuman dari binatang-binatang buas seperti harimau, singa, serigala dan
lain-lain yang haram dagingnya karena sisa makanan binatang-binatnag buas
ini mengikuti hukum dagingnya, maka sisa minumannya juga haram (najis).
Alasan kesucian dari sisa minuman burung-burung buas tadi : meskipun haram
dagingnya, karena burung-burung itu mengambil air minumnya dengan paruh yang
berupa tulang (dimanan hukum tulang itu sendiri suci) dan tidak dimungkinkan
air liur / ludah yang keluar dari perutnya (dagingnya) itu bercampur dengan
sisa minuman tadi. Sedangkan binatang-binatang buas mengambil air minum dengan
mulutnya yang sejenis daging sehingga dimungkinkan sekali sisa minumannya
bercampur dengan ludahnya.
d.
Masalihul
Mursalah
Menurut bahasa, Masalihul Mursalah berarti pertimbangan
untuk mengambil kebaikan. Menurut istilah, Masalihul Mursalah yaitu penetapan
hukum yang didasarkan atas kemaslahatan umum atau kepentingan bersama dimana
hokum pasti dari maslah tersebut tidak ditetapkan oleh oleh syar’I (al Qur’an
dan Hadits) dan tidak ada perintah memperhatikan atau mengabaikannya. Contoh
penggunaan masalihul mursalah kebijaksanaan yang diambil sahabat Abu Bakar
shiddiq mengenai pengumpulan al Qur’an dalam suatu mush-haf, penggunaan
‘ijazah, surat-surat berharga dsb.
Dengan perkembangan zaman yang terus semakin maju, muncul
berbagai masalah baru yang belum dijumpai ketetapan hukumnya di dalam Al-Qur’an
dan Al-Hadits. Masalah-masalah baru tersebut membutuhkan ijtihad, sehingga
menjadi hukum bagi kaum muslimin. Hal ini menuntut kita semua untuk selalu
memperdalam ilmu pengetahuan dan wawasan keagamaan kita, sehingga kita mampu
menjadi para mujtahid yang memiliki syarat-syarat ijtihad dengan benar. Pintu
ijtihad masih terbuka lebar bagi setiap umat muslim yang memiliki syarat-syarat
ijtihad. Islam sangat mendorong kaum muslimin untuk melakukan ijtihad. Hal ini
ditegaskan Rasulullah saw. dalam haditsnya yag diriwayatkan Mu’az bin Jabal :
Artinya : "Apabila
seorang hakim memutuskan masalah dengan jalan ijtihad kemudian benar, maka ia
mendapat dua pahala, dan apabila dia memutuskan dengan jalan ijtihad kemudian
keliru, maka dia memperoleh satu pahala. (HR. Bukhari Muslim).”
e.
Istish-hab
Melanjutkan berlakunya hokum yang telah ada dan telah
diterapkan karena adanya suatu dalil sampai datangnya dalil lain yang mengubah
kedudukan hokum tersebut. Misalnya apa yang diyakini ada, tidak akan hilang
oleh adanya keragu-raguan, contoh : orang yang telah berwudlu, lalu dia
ragu-ragu apakah sudah batal atau belum, maka yang dipakai adalah dia tetap
dalam keadaan wudlu dalam pengertian wudlunya tetap sah. Seperti itu juga dalam
hal menentukan suatu masalah yang hukum pokoknya mubah (boleh), maka hukumnya
tetap mubah sampai dating dalil yang mnegharuskan meninggalkan hokum tersebut.
Syarat umum yang harus dimiliki
setiap mujtahid:
·
Menguasai atau memahami secara
mendalam tentang al-quran dan ilmu-ilmu al-quran, terutama ayat-ayat hukum,
asbabun nuzul dan nasakh mansukhnya
·
Menguasai hadis dan ilmu-ilmu hadis.
·
Menguasai bahasa arab dan ilmu-ilmu
yang berkenaan dengan bahasa arab.
·
Menguasai ilmu ushul fiqh.
·
Memahami tujuan pokok syari’at islam
·
Memahami Qawaid kulliyah atau Qawaid
Fiqhiyah.
2.3. Fungsi Hukum Islam Dalam Kehidupan Bermasyarakat
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri
manusia membutuhkan pertolongan satu sama lain dan memerlukan organisasi dalam
memperoleh kemajuan dan dinamika kehidupannya. Setiapa individu dan kelompok
sosial memiliki kjepentingan. Namun demikan kepentingan itu tidak selalu sama
satu saama lain, bahkan mungkin bertentangan. Hal itu mengandung poteensi
terjanya benturaan daan konflik. Maka hal itu membutuhkan aturan main. Agar
kepentingan individu dapaat dicapai secara adil, maka dibutuhjkan penegakkan
aturan main tersebut. Aturan main itulah yang kemudian disebutdenngan hukum
islam yang dan menjadi pedomaan setiap
pemeeluknya. Dalam hal ini hukum islam memiliki tiga orientasi, yaitu:
a.
Mendidik indiividu (tahdzib
al-fardi) untuk selalu menjadi sumber kebaikan,
b.
Menegakkan keadilan (iqamat al-‘adl),
c.
Merealisasikan kemashlahatan
(al-mashlahah).
Oreintasi tersebut tidak hanya bermanfaat bagi manusia dalam
jangka pendek dalam kehidupan duniawi tetapi juga harus menjamin kebahagiaan
kehidupan di akherat yang kekal abadi, baik yang berupa hukum- hukum untuk
menggapai kebaikan dan kesempurnaan hidup (jalbu al manafi’), maupun pencegahan
kejahatan dan kerusakan dalam kehidupan (dar’u al-mafasid). Bbegitu juga yang
berkaitan dengan kepentingan hubungan antara Allah dengan makhluknya. Maupun
kepentingan orientasi hukum itu sendiri.[9]
Sedangkan fungsi hukum islam dirumuskan dalam empat fungsi,
yaitu:
1.
Fungsi ibadah. Dalam adz-Dzariyat:
56, Allah berfirman: “Dan tidak aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk
beribadah kepadaKu’. Maka dengan daalil ini fungsi ibadah tampak palilng
menonjol dibandingkan dengan fungsi lainnya.
2.
Fungsi amar makruf nahi munkar
(perintah kebaikan dan peencegahan kemungkaran). Maka setiap hukum islam bahkan
ritual dan spiritual pun berorientasi membentuk mannusia yang yang dapat menjadi
teladan kebaikan dan pencegah kemungkaran.
3.
Fungsi zawajir (penjeraan). Aadanya
sanksi dalam hukum islam yang bukan hanya sanksi hukuman dunia, tetapi juga
dengan aancaman siksa akhirat dimaksudkaan agar manusia dapat jera dan takut
melakukan kejahatan.
4.
Fungsi tandzim wa ishlah al-ummah
(organisasi dan rehabilitasi masyarakat). Ketentuan hukum sanksi tersebut bukan
sekedar sebagai batas ancaman dan untuk menakut-nakuti masyarakat saja, akan
tetapi juga untuk rehaabilitasi dan pengorganisasian umat mrnjadi leboh baik.
Dalam literatur ilmu hukum hal ini dikenal dengan istilah fungsi enginering
social.
Keempat fungsi hukum tersebut tidak dapat dipilah-pilah
begitu saja untuk bidang hukum tertentu tetapi saatu deengan yang lain juga
saling terkait.
2.4. Kontribusi Umat Islam Dalam Perumusan dan Penegakan Sistem
Hukum Indonesia
Hukum islam ada dua sifat, yaitu:
a.
Al- tsabat (stabil), hukum islam
sebagai wahyu akan tetap dan tidak berubah sepanjang masa
b.
At-tathawwur (berkembang),hukum
islam tidak kaku dalam berbagai kondisi dan situasi sosial.
Hukum Islam
memiliki prospek dan potensi yang sangat besar dalam pembangunan hukum
nasional. Ada beberapa pertimbangan yang menjadikan hukum Islam layak menjadi
rujukan dalam pembentukan hukum nasional yaitu[10]:
1.
Undang-undang yang sudah ada dan berlaku saat
ini seperti, UU Perkawinan,
UU Peradilan Agama, UU Penyelenggaraan
Ibadah Haji, UU Pengelolaan Zakat,
dan UU Otonomi Khusus Nanggroe Aceh
Darussalam serta beberapa undangundang
lainnya yang langsung maupun tidak
langsung memuat hukum Islam
seperti UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang
perbankan yang mengakui keberadaan
Bank Syari'ah dengan prinsip
syari'ahnya., atau UU NO. 3 Tahun 2006 tentang
Peradilan Agama yang semakin memperluas
kewenangannya, dan UU Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
2.
Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai
lebih kurang 90 persen beragama Islam akan memberikan pertimbangan yang
signifikan dalam mengakomodasi kepentingannya.
3.
Kesadaran umat Islam dalam praktek kehidupan
sehari-hari.
Banyak aktifitas keagamaan masyarakat yang terjadi selama ini merupakan
cerminan kesadaran mereka menjalankan Syari'at atau hukum Islam, seperti
pembagian zakat dan waris.
4.
Politik pemerintah atau political will dari pemerintah dalam
hal ini sangat menentukan. Tanpa adanya kemauan politik dari pemerintah maka
cukup berat bagi Hukum Islam untuk menjadi bagian dari tata hukum di Indonesia.
Untuk lebih
mempertegas keberadaan hukum Islam dalam konstalasi hukum nasional dapat
dilihat dari Teori eksistensi tentang adanya hukum Islam di dalam hukum
nasional Indonesia. Teori ini mengungkapkan bahwa bentuk eksistensi
hukum Islam di dalam hukum nasionallndonesia itu ialah:
1.
ada
dalam arti sebagai bagian integral dari hukum nasional lndonesia.
2.
ada
dalam arti kemandirian, kekuatan dan wibawanya diakui adanya oleh hukum
nasional dan diberi status sebagai hukum nasional.
3.
ada
dalam hukum nasional dalam arti norma hukum Islam (agama) berfungsi sebagai
penyaring bahan-bahan hukum nasionallndonesia.
4.
ada
dalam arti sebagai bahan utama dan unsur utama hukum nasional Indonesia[11].
Bila dilihat
dari realitas politik dan perundang-undangan di Indonesia nampaknya eksistensi
hukum Islam semakin patut diperhitungkan seperti terlihat dalam beberapa
peraturan perundangan yang kehadirannya semakin memperkokoh Hukum Islam:
1. Undang-Undang Perkawinan
Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan dan diundangkan di Jakarta Pada
tanggal 2 Januari 1974 (Lembaran Negara Tahun 1974 No. Tambahan Lembaran Negara Nomer 3019).
2.
Undang-Undang Peradilan Agama
Undang-Undang
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama disahkan dan diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 1989 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989
No. 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3400). Kemudian pada
tanggal 20 Maret 2006 disahkan UU Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agarna. Yang melegakan' dari UU ini adalah
semakin luasnya kewenangan Pengadilan Agama khususnya kewenangan dalam
menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syari'ah. Untuk menjelaskan berbagai
persoalan syari'ah di atas Dewan Syari'ah Nasional (DSN) telah mengeluarkan sejumlah fatwa yang
berkaitan dengan ekonomi syari'ah[12]
yang sampai saat ini jumlahnya sudah mencapai 53 fatwa. Fatwa tersebut dapat
menjadi bahan utama dalam penyusunan kompilasi tersebut.
Sehubungan
dengan tambahan kewenangan yang cukup banyak kepada pengadilan agama
sebagaimana pada UU No. 3 tahun 2006 yaitu mengenai ekonomi syari'ah, sementara
hukum Islam mengenai ekonomi syari'ah masih tersebar di dalam kitab-kitab fiqh
dan fatwa Dewan Syari'ah Nasional, kehadiran Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah
(KHES) yang didasarkan pada PERMA Nomor 2 Tahun 2008, tanggal 10 September 2008 tentang Kompilasi Hukum
Ekonomi Syari'ah, menjadi pedoman dan pegangan kuat bagi para Hakim
Pengadilan Agama khususnya, agar tidak terjadi disparitas putusan Hakim, dengan
tidak mengabaikan penggalian hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat
sebagaimana maksud Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah terdiri dari 4 Buku, 43
Bab, 796 Pasal.
3. Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji
Undang-Undang
No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji disahkan dan diundangkan
di Jakarta pada tanggal 3 Mei 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 No. 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3832), yang
digantikan oleh UU Nomor 13 Tahun 2008. UU pengganti ini memiliki 69 pasal dari
sebelumnya 30 pasal. UU ini mentikberatkan pada adanya pengawasari dengan
dibentuknya Komisi
Pengawasan
Haji Indonesia [KPHI]. Demikian juga dalam UU ini diiatur secara
terperinci tentang Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji [BPIH][13].
Aturan baru tersebut diharapkan dapat menjadikan pelaksanaan ibadah haji lebih
tertib dan lebih baik[14].
4. Undang-Undang Pengelolaan Zakat
Undang-Undang
Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat disahkan dan diundangkan di
Jakarta pada tanggaI 23 September 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 No. 164, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3885).
5. Undang-Undang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh.
Undang-Undang
No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh
disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 4 Oktober 1999 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun1999 No.172, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia No.3893).
6. Undang-Undang Otonomi Khusus Aceh
Undang-Undang
No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam disahkan dan diundangkan di Jakarta pada
tanggal 9 Agustus 2001 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 No. 114,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4134).
7. Kompilasi Hukum Islam
Perwujudan hukum
bagi umat Islam di Indonesia terkadang menimbulkan pemahaman yang berbeda.
Akibatnya, hukum yang dijatuhkan sering terjadi perdebatan di kalangan para
ulama. Karena itu diperlukan upaya penyeragaman pemahaman dan kejelasan bagi
kesatuan hukum Islam. Keinginan itu akhirnya memunculkan Kompilasi Hukum
Islam (KHI), yang saat ini telah menjadi salah satu pegangan utama para
hakim di lingkungan Peradilan Agama. Sebab selama ini Peradilan Agama tidak
mempunyai buku standar yang bisa dijadikan pegangan sebagaimana halnya KUH
Perdata. Dan pada tanggal 10 Juni 1991 Presiden menandatangani Inpress No.1
Tahun 1991 yang merupakan instruksi untuk memasyarakatkan KHI.
8. Undang-undang tentang Wakaf
Undang-Undang
No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf disahkan dan diundangkan di Jakarta pada
tanggal 27 Oktober 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 159,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4459). Kemudian pada tanggal 15
Desember 2006 ditetapkanlah peraturan pemerintah Republik. Indonesia Nomor 42
Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf.
Maksud penyusunan peraturan pelaksanaan PP ini adalah untuk menyederhanakan
pengaturan yang mudah dipahami masyarakat, organisasi dan badan hukum, serta
pejabat pemerintahan yang mengurus perwakafan, BWI, dan LKS, sekaligus menghindari berbagai
kemungkinan perbedaan penafsiran terhadap ketentuan yang berlaku.
9. Undang-Undang Tentang Pemerintahan Aceh
Undang-undang
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, semakin menegaskan legalitas
penerapan syariat Islam di Aceh. Syariat Islam yang dimaksud dalam
undang-undang ini meliputi ibadah, al-ahwal alsyakhshiyah (hukum keluarga),
muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah,
syi'ar, dan pembelaan Islam. Di samping itu keberadaan Mahkamah Syar'iyah yang memiliki
kewenangan yang sangat luas semakin memperkuat penerapan hukum Islam di Aceh.
Mahkamah Syar'iyah merupakan pengadilan bagi setiap orang yang beragama Islam
dan berada di Aceh. Mahkamah ini berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan
menyelesaikan perkara yang meliputi bidang al-ahwal al-syakhshiyah
(hukum keluarga), muamalah (hukum
perdata) tertentu,
jinayah (hukum pidana) tertentu,
yang didasarkan atas syari'at Islam.
10. Undang-undang Tentang Perbankan Syari'ah[15]
Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan, yang diundangkan pada tanggal 10 November 1998, menandai
sejarah baru di bidang perbankan yang mulai memberlakukan sistem ganda duel system banking di Indonesia,
yaitu sistem perbankan konvensional dengan piranti bunga, dan sistem perbankan
dengan peranti akad-akad[16]
yang sesuai dengan prinsip-prinsip[17]
syariah. Sejarah perbankan secara faktual telah mencatat bahwa dalam kurun
waktu antara tahun 1992 hingga Mei 2004 telah berkembang pesat perbankan
syariah. Secara kuantitatif jumlah bank syariah pada tahun 1992 hanya ada satu
Bank Umum Syariah, yaitu Bank Mu'amalat Indonesia, dan BPRS, tetapi saat ini
telah ada dua Bank Umum Syariah dengan 114 kantor cabang dan pembantu Bank
Syariah.
Di samping
beberapa undang-undang di atas ada tiga faktor yang menyebabkan hukum Islam
masih memiliki peran besar dalam kehidupan bangsa kita. Pertama, hukum Islam telah turut serta menciptakan tata nilai
yang mengatur kehidupan umat Islam, minimal dengan menetapkan apa yang harus
dianggap baik dan buruk, apa yang menjadi perintah, anjuran, perkenan, dan
larangan agama. Kedua, banyak
keputusan hukum dan unsur yurisprudensial dari hukum Islam telah diserap
menjadi bagian dari hukum positif yang berlaku. Ketiga, adanya golongan yang masih memiliki aspirasi teokratis
di kalangan umat Islam dari berbagai negeri sehingga penerapan hukum Islam
secara penuh masih menjadi slogan perjuangan yang masih mempunyai appeal cukup besar.Terkait dengan
upaya tersebut − dalam tulisan ini − penulis ingin lebih fokus melihat sumbangan tradisi
hukum Islam atau hukum fiqh dalam rangka pembangunan hukum nasional. Karena,
hukum Islam (hukum fiqh) itu sendiri secara umum memang diakui sebagai salah
satu sumber dalam rangka pembaruan hukum di Indonesia, selain hukum adat dan
hukum barat. Bagaimana pun, hukum barat, hukum adat, maupun hukum Islam itu,
mempunyai kedudukan yang sama sebagai sumber norma bagi upaya pembentukan hukum
nasional. Selain itu, secara sosiologis, kedudukan hukum Islam (hukum fiqh) itu
sendiri di Indonesia, melibatkan kesadaran keagamaan mayoritas penduduk yang
sedikit banyak berkaitan pula dengan masalah kesadaran hukum. Baik norma agama
maupun norma hukum selalu sama-sama menuntut ketaatan. Apalagi, jika norma
hukum itu disebandingkan dengan aspek hukum dari norma agama itu, akan semakin
jelaslah keeratan hubungan antara keduanya. Keduanya sama-sama menuntut
ketaatan dan kepatuhan dari warga masyarakatnya.
Tahir Azhari
mengatakan bahwa hukum Islam mengikat setiap individu yang beragama Islam untuk
melaksanakannya, yang implementasinya terbagi dalam 2 perspektif, yaitu :
ibadah mahdlah, dan tanpa campur tangan penguasa kecuali untuk
fasilitasnya muamalah, baik yang
bersifat perdata maupun publik, yang melibatkan kekuasaan negara. Kontribusi
baru dari hukum Islam terhadap hukum nasional adalah berupa kehadiran
Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah melalui PERMA Nomor 02 Tahun 2008. Pasal
1 Perma tersebut menyatakan bahwa Kitab ini menjadi pedoman prinsip syari'ah
bagi para Hakim dengan tidak mengurangi tanggung jawab Hakim untuk menggali dan
menemukan hukum untuk menjamin putusan yang adil dan benar.
Selain karena alasan sosiologis dan
alasan praktis-pragmatis di atas, keeratan hubungan antara ulama dan umara
serta agama dan hukum, termasuk dalam dan untuk Hukum Pidana yang hendak
diperbaharui itu, dapat pula dilihat secara filosofis-politis dan yuridis.
Secara filosofis-politis, keeratan hubungan keduanya dapat dilihat dari
perspektif Pancasila yang menurut doktrin ilmu hukum di Indonesia merupakan
sumber dari segala sumber hukum. Di dalam Pancasila itu sendiri, agama
mempunyai posisi yang sentral. Di dalamnya, terkandung prinsip yang menempatkan
agama dan ke-Tuhanan Yang Maha Esa dalam posisi yang pertama dan utama.
Demikian juga dengan tinjauan juridis, kedudukan agama dalam konteks hukum dan
keeratan hubungan antara keduanya dijamin menurut Pembukaan UUD 1945 dan Pasal
29 UUD 1945 yang menyatakan:
1. Atas berkat Rahmat Allah Yang Mahakuasa dan dengan didorong oleh
keinginan
luhur, supaya berkehidupan kebangsaan
yang bebas, maka rakyat Indonesia,menyatakan dengan ini kemerdekaannya."
2.
Negara
berdasar atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa."
3.
Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu."
Dilihat dari sketsa historis, hukumislam masuk ke indonesia
bersama masuknya islam ke Indonesia pada abad ke 1 hijriyah atau 7/8 masehi.
Sedangkan hukum barat bary diperkenalkan VOC awal abad 17 masehi. Sebalum islam
masuk indonesia, rakyat indonesia menganut hukum adat yang bermacam-macam
sistemnya dan sangat majemuk sifatnya. Namun setelah islam datang dan menjadi
agama resmi di berbagai kerajaan nusantara, maka hukum islam pun munjadi hukum
resmi kerajaan-kerajaan tersebut dan tersebar manjadi hukum yang berlaku dalam
masyarakat.
Dalam pembentukan hukum islam di indonesia, kesadarn
berhukum islam untuk pertama kali pada zaman kemeerdekaan adalah di dalam
Piagam Jakarta 22 juni 1945 , yang di dalam dasar ketuhanan diikuti dengan
pernyataan “dengan kewajiban
menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Tetapi dengan
pertimbangan untuk persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia akhirnya mengalami
perubahan pada tanggal 18 Agustus 1945 yang rumusan sila pertamanya menjadi
“ketuhanan yang maha esa”. Meskipun demikian, dalam berbagai macam peraturan
perundang-undangan, hukumislam telah benar-benar memperoleh tempat yang wajar
secara kontitusional yuridik.
Untuk mewujudkan
Hukum Islam dapat menjadi lebih prospektif dalam kodifikasi hukum nasional pada
masa datang political will para
legislator di tingkat pusat dan daerah rnerupakan prasyarat utama.
Putusan-putusan Pengadilan/Hakim yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat yang islami turut berperan pula.
Demikian pula
halnya dengan peran
akademisi dalam pengembangan dan penelitian yang dapat menunjang perkembangan hukum Islam
di Indonesia. Dan yang juga tidak kalah pentingnya adalah peran para
ulama, kyai yang mengajarkan dan tetap menyiarkan materi-materi hukum Islam
kepada para santri serta jamaahnya yang tersebar di berbagai pelosok tanah air.
Dalam buku-buku Tafsir disebutkan bahwa para legislator, yuris, pemerintah, dan
ulama/akademisi, termasuk dalam makna uli
al-amr, yang termasuk untuk ditaati sebagaimana perintah Allah dalam
surat al-Nisa, ayat : 59.
Demikian
beberapa argumen yang memberikan peluang kepada hukum Islam untuk berkembang
dan layak dijadikan bahan pertimbangan dalam pcmbangunan. Hukum nasional,
karena bangsa Indonesia perlu menformulasikan hukum sesuai dengan filsafat hukum
Indonesia, sebab aturan hukum yang ada sekarang ini masih banyak yang merupakan
warisan bangsa Belanda. Contohnya sistem Hukurn Pidana yang kita berlakukan
sampai saat ini merupakan warlsan Belanda yang diperuntukkan berlakunya
terutama bagi bangsa Indonesia sebagai bangsa yang terjajah. Pada waktu itu
sistem hukum demikian sesuai dengan keadilan menurut versi penjajah. Setelah
Indonesia merdeka tentu perlu ditinjau kembali dan kalau tidak sesuai dengan
kebutuhan bangsa serta rasa keadilan kiranya tidak perlu dan tidak akan
dipertahankan[18].
Dengan demikian kontribusi umat islam dalam petrumusan dan
penegakan hukum sangat besar. Ada pun upaya yang harus dilakukan untuk
penegakan hukum dalam praktek bermasyarakat dan bernegara yaitu melalui proses
kultural dan dakwah. Apabila islam telah menjadikan suatu keebijakan sebagai
kultur dalam masyarakat, maka sebagai konsekuensinyahukum harus ditegakkan.
Bila perlu “law inforcement” dalam penegakkan hukum islam dengan hukum positif
yaitu melalui perjuangan legislasi. Sehingga dalam perjaalananya suatu
ketentuan yang wajib menurut islam menjadi wajib pula menurut perundangan.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Hukum Islam adalah hokum yang bersumber dan menjadi bagian
dari agama Islam. Konsepsi hukum islam, dasar, dan kerangka hukumnya ditetapkan
oleh Allah. Hukum tersebut tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia
dan benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan
manusia dengan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia
lain dalam masyarakat, dan hubungan manusia dengan benda alam sekitarnya.
Perkembangan
hukum Islam di Indonesia memiliki peluang yang sangat cerah dalam pembangunan
hukum nasional, karena secara sosioantropologis dan emosional, hukum Islam
sangat dekat dengan rnasyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama
Islam. Se!ain itu secara historis hukum Islam telah dikenal jauh sebelum
penjajah masuk ke Indonesia. Peluang bagi masa depan hukum Islam di Indonesia
juga terbuka karena telah banyak aturan dalam hukum Islam yang disahkan menjadi
hukum nasional, dan hal ini memperlihatkan bagaimana politicall will pemerintah yang memberikan respon dan peluang
yang baik bagi hukum Islam. Dengan melihat realitas kedekatan, kompleksitas
materi hukum Islam pada masa datang, peluang hukum Islam dalam pembangunan
hukum nasional akan lebih luas lagi.
Demikian juga peran akademisi
yang melakukan pengembangan dan penelitian yang konstruktif dapat menunjang
perkembangan hukum Islam di Indonesia. Yang tidak kalah pentingnya
adalah peran para ulama, kyai yang secara ikhlas mengajarkan dan tetap
menyiarkan materi-materi hukum Islam kepada para santri serta jamaahnya yang
tersebar di berbagai pelosok tanah air. Semua itu secara alami akan tetap menjaga
keberadaan hukum Islam di Indonesia.
Ada tiga faktor
yang menyebabkan hukum Islam masih memiliki peran besar dalam kehidupan bangsa
kita. Pertama, hukum Islam
telah turut serta menciptakan tata nilai yang mengatur kehidupan umat Islam,
minimal dengan menetapkan apa yang harus dianggap baik dan buruk, apa yang
menjadi perintah, anjuran, perkenan, dan larangan agama. Kedua, banyak keputusan hukum dan
unsur yurisprudensial dari hukum Islam telah diserap menjadi bagian dari hukum
positif yang berlaku. Ketiga, adanya
golongan yang masih memiliki aspirasi teokratis di kalangan umat Islam dari
berbagai negeri sehingga penerapan hukum Islam secara penuh masih menjadi
slogan perjuangan yang masih mempunyai appeal
cukup besar.
DAFTAR PUSTAKA
diunduh tgl 1 Maret 2013
diunduh tgl 1 Maret 2013
diunduh tgl 1 Maret 2013
diunduh tgl 1 Maret 2013
diunduh tgl 1 Maret 2013
diunduh tgl 1 Maret 2013
diunduh tgl 1 Maret 2013
Muchsin,.2004.Masa Depan Hukum Islam Di Indonesia, BP IBLAM.
Jakarta.
[1] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), edisi
ketiga, hal. 592.
Oxford
University [t. th.], ed. I (1942), hal. 186-187.
[3] Ulasan berikut dikutif dan disarikan dari, Rifyal
Ka'bah, , Hukum Islam di Indonesia, Buletin Dakwah, 19
Mei 2006.
[4] Sunaryati Hartono, mantan Kepala BPBN, mengatakan bahwa
sebenarnya bangsa Indonesia
belum mempunyai hukum nasional, dan yang paling
banyaknya baru hukum di Indonesia. John Ball,
Guru Besar di Sidney University, menyebut keadaan
hukum di Indonesia sebagai "The struggle for a
national
law." Lev mengatakan
ada pertentangan-pertentang kepentingan antara golongan-golongan
ideologi dalam hukum (Barat, Adat, dan Islam) sehingga
hukum lama masih tetap juga dipakai dan belum
ada konsensus untuk menggantinya. (Bustanul Arifin, Transformasi
Syariah ke dalam Hukum Nasional
(Bertenun
dengan Benang-benang Kusut), Jakarta :
Yayasan Al-Hikmah, 1999), hal. 5 dan 11).
[6]
Hadis adalah “Segala sesuatu yang diambil dari Nabi Muhammad
Saw baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir (ketentuan), pengajaran,
sifat, kelakuan dan perjalanan hidup baik yang terjadi sebelum masa kenabian
ayau sesudahnya”
[7]
Ijtihad ialah bersungguh-sungguh menggunakan akal pikiran
untuk merumuskan dan menetapkan hukum atau suatu perkara yang tidak ditemukan
kepastian hukumnya dalam Al-Qur’an maupun Hadits.
Indonesia, Bandung: Remaja Rosdakarya eet. ke-2 1994,
hal. 137
[12] Sedangkan yang dimaksud dengan ekonomi syariah,
seperti yang diulas dalam penjelasan UU
ini adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang
dilaksanakan menurut prinsip syari'ah yang antara lain
meliputi: bank syari'ah, lembaga kuangan mikro
syari'ah, asuransi syari'ah, reasuransi syari'ah, reksadana
syari'ah, obligasi syari'ah dan surat berharga
berjangka menengah syari'ah, sekuritas syari'ah, pembiayaan
syari'ah, pegadaian syari'ah, dana pensiun lembaga
keuangan syari'ah dan bisnis syari'ah.
[13] BPIH disetorkan ke rekening Menteri melalui bank
syariah dan / atau bank umum nasional
yang ditunjuk
oleh Menteri (Pasal 22).
[15] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
(selanjutnya disebut UU No. 21 Tahun
2008) tentang Perbankan Syariah menyebutkan bahwa
perbankan syariah adalah segala sesuatu yang
menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha
Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta
cara dan proses
dalam melaksanakan kegiatan usahanya.
[16] Akad-akad dimaksud antara lain adalah : wadi'ah,
mudharabah, musyarakah, ijarah, ijarah
muntahiya bit-tamlik, murabahah, salam, istishna'I,
qardh, wakalah, atau akad lain yang sesuai dengan
prinsip
syariah.
[17]
yaitu antara lain yang tidak
mengandung unsur : riba, maysir, gharar, haram, dan zalim.
Kedelapan, hal.
170.