Kamis, 12 Juni 2014

KEPEMIMPINAN WANITA DALAM PANDANGAN ISLAM



HUKUM KEPEMIMPINAN WANITA DALAM ISLAM

1. Sebagai Pemimpin Rumah Tangga
Kepemimpinan dalam rumah tangga yang dimaksud adalah tanggung jawab dalam me manage keluarga tetapi bukan untuk mencari nafkah, karena mencari nafkah adalah tanggung jawab suami. Wanita sebagai pemimpin dalam rumah tangga seperti yang dimaksud, sepakat ulama untuk mengakuinya sebagaimana disebutkan dalam hadist Rasulullah :
Al-mar'atu ra'iyatun fi bayti zawjiha wa mas'ulatun 'an ra'iyyatihal ' Wanita itu adalah pemimpin dirumah tangga suaminya dan dia akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya.'(HR. Bukhori).
Alasan para ulama untuk mendukung kepemimpinan wanita dalam rumah tangga karena tugas domestik adalah yang paling sesuai dan paling aman bagi wanita. Sebagai pemimpin didalam rumah tangga wanita bertanggung jawab atas harta suaminya dan bertanggung jawab untuk mendidik anak-anaknya dengan penuh kasih sayang agar menjadi seorang pemuda yang bertanggung jawab dan berakhlaq mulia dalam hidupnya. Tugas wanita sebagai pemimpin dalam rumah tangga sangat berat karena ditangan wanitalah masa depan bangsa yang mereka ciptakan melalui generasi penerus bangsa, sebagaimana disebutkan dalam hadist:
"Apabila baik wanitanya maka baiklah negaranya, dan jika rusak wanitanya maka binasalah negaranya". (al-hadis).

2. Wanita Sebagai Imam Dalam Sholat.
Menurut Imam syafi'i, wanita mengimani wanita dibolehkan tetapi tidak boleh meng imani laki-laki. Abu Tsaur dan At-Thabari membolehkan mengimami laki-laki dan wanita karena keimaman wanita diakui secara mutlak. Hal ini menunjukkan bahwa abu Tsaur dan At-Thabari tidak membedakan antara waita dengan laki-laki dalam segala hal. Alasan At-Thabari karena pada dasarnya tidak ada larangan yang jelas bagi wanita menjadi imam kecuali hanya berdasarkan penafsiran para Fuqaha' saja. Tidak ada ayat ataupun hadist yang menyatakan "dilarang wanita menjadi imam"
Menurut jumhur Ulama, wanita dilarang mengimami laki-laki, sebab wanita harus dibelakangkan seperti yang diajarkan oleh hadist:
Akhkhiru hunna min haytsu akhkhara hunna allahu 'Akhirkanlah wanita, karena Allah telah mengakhirkan mereka (wanita)". Kalaulah wanita dapat mengimami laki-laki tentunya sejak masa nabi hal ini sudah tersebar, tetapi ternyata tidak demikian kenyataanya.
Alasan-alasan yang dikemukakan oleh ulama yang membolehkan kaum wanita Menjadi imam dengan alasan persamaan derajat dalam sholat, terlebih-lebih lagi kenyataan seperti ini sudah banyak diriwayatkan sejak permulaan Islam, mereka mengutip sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Ummu waraqah:
Inna Rasulallahi shallallahu 'alayhi wasallama kaana yazuuruha fi baytihaa wa ja'ala lahaa yu'adzdzinu laha wa amarahaa anta'umma ahla daarihaall 'Sesugguhnya SAW pernah menziarahinya (Ummu Waraqah) dirumahnya, dan menunjukkan seorang mu'azin yang azan untuknya dan memerintahkan Ummu Waraqah untuk menjadi Imam seisi rumahnya .

3. Wanita sebagai Pemimpin Organisasi atau Perusahaan.
Secara managerial tugas pemimpin adalah mulai dari merencanakan, mengorganisasi, menggerakkan, memotifasi, mengawasi dan mengevaluasi. Secara specifik berkaitan dengan pengambilan keputusan, komunikasi memilih dan mengembangkan. Kapasitas kepemimpinan lebih ditentukan oleh pemantapannya dalam pengambilan keputusan.
Alasan lain yang dikemukakan oleh para ulama mengapa wanita tidak dibenarkan menjadi pemimpin adalah karena lemahnya akal wanita. Kalau ditinjau dari sudut pandangan Islam sebenarya tidak ada larangan tetapi Buqaha' mengatakan lebih baik tinggal dirumah bagi wanita dan tidak meninggalkannya kecuali karena tepaksa. Menurut Huzaimah T. Yanggo Islam tidak melarang wanita untuk bekerja diluar rumah seperti yang dikemukakannya dalam tulisannya berjudul konsep wanita menurut Qur'an, sunnah dan Fiqih. :
"Islam tidak menghalangi kaum wanita untuk memasuki berbagai bidang propesi sesuai dengan keahliannya seperti menjadi guru/dosen, Dokter, Pengusaha, Mentri, Hakim dan lain-lain. Bahkan bila mampu dan sanggup boleh menjadi perdana mentri atau kepala negara asal dalam tugasnya tetap memperhatikan hukum-hukum atau aturan yang telah ditetapkan oleh Islam."
Islam tidak pernah melarang wanita itu menjadi pemimpin karena dalam hadist dinyatakan bahwa setiap orang itu adalah pemimpin:
Kullukum raa'in wa kullukum mas'ulun 'an ra'iyyatihil "Setiap kamu semua adalah pemimpin dan semua akan diminta tanggung jawab terhadap kepemimpinannya".
Hadis ini menunjukkan bahwa setiap manusia itu berhak menjadi pemimpin terhadap orang yang lebih rendah daripada dirinya. Seorang yang memipin haruslah lebih baik daripada orang yang dipimpinnya.
Dengan demikian seorang wanita dapat saja menjadi pimpinan dalam suatu perusahaan, organisasi dan departemen atau yang sejenisnya yang penting dia punya kemampuan untuk menjadi pemimpin. Adakalanya wanita lebih dapat memahami dan mengambil keputusan yang lebih tepat daripada laki-laki. Tidak selamanya laki-laki lebih baik dalam pengambilan keputusan. Selama masyarakatnya membutuhkan dan dia mampu untuk itu maka boleh saja wanita menjadi pemimpin.

4. Sebagai Hakim
Mengangkat wanita menjadi hakim terjadi perselisihan pendapat di kalangan para ulama, sebahagian membolehkannya dan sebahagian melarangnya dengan mengemukakkan alasan masing-masing. Imam Abu Hanifah membolehkan wanita menjadi Hakim tetapi terbatas pada urusan harta, karena menurutnya peradilan itu sama dengan kesaksisan wanita dalam harta. Sementara itu at- Thabari menyatakan bahwa wanita itu boleh menjadi hakim dalam segala perkara, dengan alasan bahwa setiap orang dapat memberi peradilan di antara orang banyak, keculi dalam perkara yang telah takhsiskan oleh ijma' yakni Imamah kubra tetapi jumhur ulama berpendapat bahwa syarat menjadi hakim haruslah laki-laki sehingga menolak keputusan peradilan yang dilakukan oleh wanita. Alasan penolakan mereka adalah menyamakan wanita dengan hamba yakni kurangnya kehormatan mereka. Sedangkan al-Mawardi searang ahli fiqih siyasah terkemuka pada zamannya menolak hakim wanita dengan alasan wanita tidak mempunyai kemampuan untuk memegang jabatan-jabatan.
Menurut Ibnu Rusydi penalakan para fuqaha' atas hakim wanita alasannya adalah analogi kepada Imamah Kubra (jabatan Kepala Negara) yang sudah disepakati oleh para ulama. Kalau kita perhatikan alasan yang dikemukakan para ulama ada dua alasan yakni karena kurang cerdas dan kurang bijaksana dan penyamaan wanita dengan hamba. Alasan karena wanita kurang cukup kemampuannya rasanya tidak tepat karena untuk masa sekarang tidak lagi seperti zaman ketika Rasulullah dimana wanita tidak mempunyai kemampuan karena rendahnya pendidikan mereka. Bagi yang mempunyai alasan karena kurangnya kehormatan wanita yang dipandang sama dengan hamba adalah pandangan yang keliru karena Islam tidak pernah membedakan derajat laki-laki dengan wanita, tetapi keduanya setara di hadapan Allah.

5. Sebagai Pemimpin Negara.
  Syarat kelelakian untuk menjadi kepala negara/pemerintahan tidak diperdebatkan lagi oleh ahli fiqih terutama yang klasik. Syarat itu dipandang sebagai suatu yang jalas sehingga tidak perlu dibahas panjang lebar, bahkan ada yang melewatkannya begitu saja.
Menurut Imam al-Haramain al-Juaini, para ulama telah berijma' bahwa, wanita tidak boleh menjadi imam dan hakim. la tidak menguraikan apa alasannya. Rasyid Rido (1935) mengutip pendapat At- Taftazani yang menyatakan bahwa syarat menjadi imam (kepala negara/pemerintahan) itu adalah mukallaf, muslim, laki-laki, mujtahid, berani, bijaksana, cakap, sehat indrawi, adil dan dari kalangan Quraisy. Sedangkan menurut ulama Hanafiah syarat Imam adalah Muslim, laki-laki, merdeka, berani, dan dari kalangan Quraisy.
Menurut al-Mawardi, searang ahli fiqih siyasah yang sezaman dengan Zuaihi membolehkan wanita menjadi hakim atau pemimpin berarti melawan sunnatullah karena Allah telah berfirman bahwa lelaki itu memimpin kaum wanita karena allah memberi kelebihan terhadap sebahagian arang atas sebahagian yang lain. (QS An-Nisa':34). Kelebihan yang dimaksud menurut ulama fikih dalam firman Allah tersebut adalah kelebihan akal dan kebijaksanaan.
Alasan kuat lainnya yang selalu digunakan untuk menentang kebolehan wanita Menjadi pemimpin adalah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari yang berasal dari Abu Bakar yakni:
lan yaflaha qawmun wallaw amarahum imra 'atunl "Tidak akan beruntung suatu kaum yang mengangkat wanita menjadi pemimpinnya" (HR.Bukhari).
Kalau kita teliti dari keseluruhan uraian diatas dapat diringkaskan alasan-alasan penolakan para ulama tentang kebolehan wanita menjadi kepala pemerintahan atau kepemimpinan secara umum adalah.:
- al-Qur'an surat An-nisa' ayat 34.
- Hadis Abu Bakrah
- Menurut qodratnya wanita itu lebih lemah dan kurang sempurna dibanding laki-laki.
Bila kita tinjau dari segi konteks ayat jelas ia berbicara tentang hubungan suami istri, bukan hubungan sosial dalam konteks yang luas misalnya tentang penguasa dan rakyatnya. Karenanya Ayat tersbut tidak dapat dikatakan nass atau pelarangan wanita menjadi pemimpin dalam pemerintahan. Lelaki memimpin wanita adalah hubungan langsung lelaki dengan wanita yang hidup dalam suatu perkawinan dan ini adalah wajar.
Banyak ulama menolak kepemimpinan wanita selain hadis di atas juga ada hadis lainnya yang menyatakan bahwa wanita itu kurang akal dan agamanya. Kurang akal yang maksud karena kesaksian wanita setengah dari kesaksian laki-laki sedangkan kurang agamanya disebut karena adanya masa-masa tertentu harus meninggalkan kewajiban shalat.
Dengan demikian adanya alasan tentang hadis Bakrah, jika kita tafsirkan dengan menurut konteks maka harus melihat sejarah. Pada zaman jahiliyah wanita tidak beruntung, bahkan anak wanita yang lahir dikubur hidup-hidup. Rasulullah sendiri berjuang untuk membebaskan kaum wanita. Walaupun beliau telah berhasil, namun struktur sosial yang sudah begitu kokoh dan melembaga tidak dapat diubah total seratus persen dalam waktu yang singkat seperti lembaga perbudakan misalnya.
Adapun alasan yang ketiga yang memandang wanita lebih dari laki-laki, sama artinya bahwa ada wanita yang luar biasa, jenius, cakap, la tidak terhalang untuk menjadi pimpinan. Sedangkan alasan yang menyatakan wanita tidak dapat tampil didepan umum jelas mewakili pandangan yang mengurung wanita dalam tembak-tembak rumah tangga, sehingga tidak ada yang melihatnya kecuali keluarganya sendiri.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak terhalang wanita itu untuk menjadi pemimpin selama dia mampu dan masyarakat membutuhkannya. Namun ia tidak boleh mengabaikan tugas utamanya dalam rumah tangga dan dalam tugas kepemimpinannya tetap berada dijalur yang telah ditetapkan oleh Islam. Namun bila ada lelaki, maka harus tetaplah mengutamakan kaum laki-laki.

0 komentar:

Posting Komentar