HUKUM KEPEMIMPINAN WANITA DALAM ISLAM
1.
Sebagai Pemimpin Rumah Tangga
Kepemimpinan dalam rumah tangga yang dimaksud adalah tanggung
jawab dalam me manage keluarga tetapi bukan untuk mencari nafkah, karena
mencari nafkah adalah tanggung jawab suami. Wanita sebagai pemimpin dalam rumah
tangga seperti yang dimaksud, sepakat ulama untuk mengakuinya sebagaimana
disebutkan dalam hadist Rasulullah :
‘Al-mar'atu
ra'iyatun fi bayti zawjiha wa mas'ulatun 'an ra'iyyatihal ' Wanita itu
adalah pemimpin dirumah tangga suaminya dan dia akan dimintai pertanggung
jawaban tentang kepemimpinannya.'(HR. Bukhori).
Alasan para ulama untuk mendukung kepemimpinan wanita dalam rumah
tangga karena tugas domestik adalah yang paling sesuai dan paling aman bagi
wanita. Sebagai pemimpin didalam rumah tangga wanita bertanggung jawab atas
harta suaminya dan bertanggung jawab untuk mendidik anak-anaknya dengan penuh
kasih sayang agar menjadi seorang pemuda yang bertanggung jawab dan berakhlaq
mulia dalam hidupnya. Tugas wanita sebagai pemimpin dalam rumah tangga sangat
berat karena ditangan wanitalah masa depan bangsa yang mereka ciptakan melalui
generasi penerus bangsa, sebagaimana disebutkan dalam hadist:
"Apabila
baik wanitanya maka baiklah negaranya, dan jika rusak wanitanya maka binasalah
negaranya". (al-hadis).
2.
Wanita Sebagai Imam Dalam Sholat.
Menurut Imam syafi'i, wanita mengimani wanita dibolehkan tetapi
tidak boleh meng imani laki-laki. Abu Tsaur dan At-Thabari membolehkan
mengimami laki-laki dan wanita karena keimaman wanita diakui secara mutlak. Hal
ini menunjukkan bahwa abu Tsaur dan At-Thabari tidak membedakan antara waita
dengan laki-laki dalam segala hal. Alasan At-Thabari karena pada dasarnya tidak
ada larangan yang jelas bagi wanita menjadi imam kecuali hanya berdasarkan
penafsiran para Fuqaha' saja. Tidak ada ayat ataupun hadist yang menyatakan
"dilarang wanita menjadi imam"
Menurut
jumhur Ulama, wanita dilarang mengimami laki-laki, sebab wanita harus dibelakangkan
seperti yang diajarkan oleh hadist:
‘Akhkhiru
hunna min haytsu akhkhara hunna allahu 'Akhirkanlah wanita, karena Allah
telah mengakhirkan mereka (wanita)". Kalaulah wanita dapat mengimami
laki-laki tentunya sejak masa nabi hal ini sudah tersebar, tetapi ternyata
tidak demikian kenyataanya.
Alasan-alasan yang dikemukakan oleh ulama yang membolehkan kaum
wanita Menjadi imam dengan alasan persamaan derajat dalam sholat,
terlebih-lebih lagi kenyataan seperti ini sudah banyak diriwayatkan sejak
permulaan Islam, mereka mengutip sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Daud
dari Ummu waraqah:
‘Inna
Rasulallahi shallallahu 'alayhi wasallama kaana yazuuruha fi baytihaa wa ja'ala
lahaa yu'adzdzinu laha wa amarahaa anta'umma ahla daarihaall 'Sesugguhnya
SAW pernah menziarahinya (Ummu Waraqah) dirumahnya, dan menunjukkan seorang
mu'azin yang azan untuknya dan memerintahkan Ummu Waraqah untuk menjadi Imam
seisi rumahnya .
3.
Wanita sebagai Pemimpin Organisasi atau Perusahaan.
Secara managerial tugas pemimpin adalah mulai dari merencanakan,
mengorganisasi, menggerakkan, memotifasi, mengawasi dan mengevaluasi. Secara
specifik berkaitan dengan pengambilan keputusan, komunikasi memilih dan
mengembangkan. Kapasitas kepemimpinan lebih ditentukan oleh pemantapannya dalam
pengambilan keputusan.
Alasan lain yang dikemukakan oleh para ulama mengapa wanita tidak
dibenarkan menjadi pemimpin adalah karena lemahnya akal wanita. Kalau ditinjau
dari sudut pandangan Islam sebenarya tidak ada larangan tetapi Buqaha'
mengatakan lebih baik tinggal dirumah bagi wanita dan tidak meninggalkannya
kecuali karena tepaksa. Menurut Huzaimah T. Yanggo Islam tidak melarang wanita
untuk bekerja diluar rumah seperti yang dikemukakannya dalam tulisannya
berjudul konsep wanita menurut Qur'an, sunnah dan Fiqih. :
"Islam
tidak menghalangi kaum wanita untuk memasuki berbagai bidang propesi sesuai
dengan keahliannya seperti menjadi guru/dosen, Dokter, Pengusaha, Mentri, Hakim
dan lain-lain. Bahkan bila mampu dan sanggup boleh menjadi perdana mentri atau
kepala negara asal dalam tugasnya tetap memperhatikan hukum-hukum atau aturan
yang telah ditetapkan oleh Islam."
Islam tidak pernah melarang wanita itu menjadi pemimpin karena
dalam hadist dinyatakan bahwa setiap orang itu adalah pemimpin:
Kullukum
raa'in wa kullukum mas'ulun 'an ra'iyyatihil "Setiap kamu
semua adalah pemimpin dan semua akan diminta tanggung jawab terhadap
kepemimpinannya".
Hadis
ini menunjukkan bahwa setiap manusia itu berhak menjadi pemimpin terhadap orang
yang lebih rendah daripada dirinya. Seorang yang memipin haruslah lebih baik
daripada orang yang dipimpinnya.
Dengan demikian seorang wanita dapat saja menjadi pimpinan dalam
suatu perusahaan, organisasi dan departemen atau yang sejenisnya yang penting
dia punya kemampuan untuk menjadi pemimpin. Adakalanya wanita lebih dapat memahami
dan mengambil keputusan yang lebih tepat daripada laki-laki. Tidak selamanya
laki-laki lebih baik dalam pengambilan keputusan. Selama masyarakatnya
membutuhkan dan dia mampu untuk itu maka boleh saja wanita menjadi pemimpin.
4.
Sebagai Hakim
Mengangkat wanita menjadi hakim terjadi perselisihan pendapat di
kalangan para ulama, sebahagian membolehkannya dan sebahagian melarangnya
dengan mengemukakkan alasan masing-masing. Imam Abu Hanifah membolehkan wanita
menjadi Hakim tetapi terbatas pada urusan harta, karena menurutnya peradilan
itu sama dengan kesaksisan wanita dalam harta. Sementara itu at- Thabari
menyatakan bahwa wanita itu boleh menjadi hakim dalam segala perkara, dengan
alasan bahwa setiap orang dapat memberi peradilan di antara orang banyak,
keculi dalam perkara yang telah takhsiskan oleh ijma' yakni Imamah kubra tetapi
jumhur ulama berpendapat bahwa syarat menjadi hakim haruslah laki-laki sehingga
menolak keputusan peradilan yang dilakukan oleh wanita. Alasan penolakan mereka
adalah menyamakan wanita dengan hamba yakni kurangnya kehormatan mereka.
Sedangkan al-Mawardi searang ahli fiqih siyasah terkemuka pada zamannya menolak
hakim wanita dengan alasan wanita tidak mempunyai kemampuan untuk memegang
jabatan-jabatan.
Menurut Ibnu Rusydi penalakan para fuqaha' atas hakim wanita
alasannya adalah analogi kepada Imamah Kubra (jabatan Kepala Negara) yang sudah
disepakati oleh para ulama. Kalau kita perhatikan alasan yang dikemukakan para
ulama ada dua alasan yakni karena kurang cerdas dan kurang bijaksana dan
penyamaan wanita dengan hamba. Alasan karena wanita kurang cukup kemampuannya
rasanya tidak tepat karena untuk masa sekarang tidak lagi seperti zaman ketika
Rasulullah dimana wanita tidak mempunyai kemampuan karena rendahnya pendidikan
mereka. Bagi yang mempunyai alasan karena kurangnya kehormatan wanita yang
dipandang sama dengan hamba adalah pandangan yang keliru karena Islam tidak
pernah membedakan derajat laki-laki dengan wanita, tetapi keduanya setara di
hadapan Allah.
5.
Sebagai Pemimpin Negara.
Syarat kelelakian untuk
menjadi kepala negara/pemerintahan tidak diperdebatkan lagi oleh ahli fiqih
terutama yang klasik. Syarat itu dipandang sebagai suatu yang jalas sehingga
tidak perlu dibahas panjang lebar, bahkan ada yang melewatkannya begitu saja.
Menurut Imam al-Haramain al-Juaini, para ulama telah berijma'
bahwa, wanita tidak boleh menjadi imam dan hakim. la tidak menguraikan apa
alasannya. Rasyid Rido (1935) mengutip pendapat At- Taftazani yang menyatakan
bahwa syarat menjadi imam (kepala negara/pemerintahan) itu adalah mukallaf,
muslim, laki-laki, mujtahid, berani, bijaksana, cakap, sehat indrawi, adil dan
dari kalangan Quraisy. Sedangkan menurut ulama Hanafiah syarat Imam adalah
Muslim, laki-laki, merdeka, berani, dan dari kalangan Quraisy.
Menurut al-Mawardi, searang ahli fiqih siyasah yang sezaman dengan
Zuaihi membolehkan wanita menjadi hakim atau pemimpin berarti melawan
sunnatullah karena Allah telah berfirman bahwa lelaki itu memimpin kaum wanita
karena allah memberi kelebihan terhadap sebahagian arang atas sebahagian yang
lain. (QS An-Nisa':34). Kelebihan yang dimaksud menurut ulama fikih dalam
firman Allah tersebut adalah kelebihan akal dan kebijaksanaan.
Alasan kuat lainnya yang selalu digunakan untuk menentang
kebolehan wanita Menjadi pemimpin adalah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari
yang berasal dari Abu Bakar yakni:
lan
yaflaha qawmun wallaw amarahum imra 'atunl "Tidak akan
beruntung suatu kaum yang mengangkat wanita menjadi pemimpinnya"
(HR.Bukhari).
Kalau kita teliti dari keseluruhan uraian diatas dapat
diringkaskan alasan-alasan penolakan para ulama tentang kebolehan wanita
menjadi kepala pemerintahan atau kepemimpinan secara umum adalah.:
-
al-Qur'an surat An-nisa' ayat 34.
-
Hadis Abu Bakrah
-
Menurut qodratnya wanita itu lebih lemah dan kurang sempurna dibanding
laki-laki.
Bila kita tinjau dari segi konteks ayat jelas ia berbicara tentang
hubungan suami istri, bukan hubungan sosial dalam konteks yang luas misalnya
tentang penguasa dan rakyatnya. Karenanya Ayat tersbut tidak dapat dikatakan
nass atau pelarangan wanita menjadi pemimpin dalam pemerintahan. Lelaki
memimpin wanita adalah hubungan langsung lelaki dengan wanita yang hidup dalam
suatu perkawinan dan ini adalah wajar.
Banyak ulama menolak kepemimpinan wanita selain hadis di atas juga
ada hadis lainnya yang menyatakan bahwa wanita itu kurang akal dan agamanya.
Kurang akal yang maksud karena kesaksian wanita setengah dari kesaksian
laki-laki sedangkan kurang agamanya disebut karena adanya masa-masa tertentu
harus meninggalkan kewajiban shalat.
Dengan demikian adanya alasan tentang hadis Bakrah, jika kita
tafsirkan dengan menurut konteks maka harus melihat sejarah. Pada zaman
jahiliyah wanita tidak beruntung, bahkan anak wanita yang lahir dikubur
hidup-hidup. Rasulullah sendiri berjuang untuk membebaskan kaum wanita.
Walaupun beliau telah berhasil, namun struktur sosial yang sudah begitu kokoh
dan melembaga tidak dapat diubah total seratus persen dalam waktu yang singkat
seperti lembaga perbudakan misalnya.
Adapun alasan yang ketiga yang memandang wanita lebih dari
laki-laki, sama artinya bahwa ada wanita yang luar biasa, jenius, cakap, la
tidak terhalang untuk menjadi pimpinan. Sedangkan alasan yang menyatakan wanita
tidak dapat tampil didepan umum jelas mewakili pandangan yang mengurung wanita
dalam tembak-tembak rumah tangga, sehingga tidak ada yang melihatnya kecuali
keluarganya sendiri.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak terhalang wanita itu
untuk menjadi pemimpin selama dia mampu dan masyarakat membutuhkannya. Namun ia
tidak boleh mengabaikan tugas utamanya dalam rumah tangga dan dalam tugas
kepemimpinannya tetap berada dijalur yang telah ditetapkan oleh Islam. Namun
bila ada lelaki, maka harus tetaplah mengutamakan kaum laki-laki.
0 komentar:
Posting Komentar